Praktek Pemerintahan Islam
Praktek
Pemerintahan Islam
Yang
Berkembang Dalam Sejarah Islam
Sekolah Tinggi Agama Islam Attahdzib
Jombang Jatim
Ditulis oleh Muhammad Abdul Rosid Kamis, 19 April 2012 10:30
A.
Iftitah
Politik
biasa diartikan sebagai seni dalam mengatur dan memerintah masyarakat. Agak
sulit memisahkan Muhammad SAW. dari kepemimpinan politik. Di samping sebagai
seorang Rosul, beliau adalah Kepala Kepemimpinan Politik Muslim pertama dengan
Madinah sebagai Pusat Pemerintahan. Muhammad SAW. merupakan seorang pemimpin
politik karena mempunyai kapasitas dalam mengatur dan mengelola masyarakat
Muslim yang dipusatkan di Madinah.
Para
sejarawan membagi periode awal Islam menjadi periode Mekkah dan periode
Madinah. Periode Makkah merupakan periode peletakan dasar-dasar agama tauhid
dan pembentukan akhlak yang mulia. Periode Madinah menandai kemunculan Islam
sebagai sebuah kekuatan sosial dan politik. Muhammad SAW. tidak lagi hanya
tampil sebagai sebuah komunitas peradapan berpusat di Madinah. Dengan demikian,
pembentukan sebuah masyarakat Islam telah dimulai. Sejak itu, wahyu yang turun
tidak lagi terbatas pada seputar keesaan Tuhan, tetapi mulai mencakup ajaran
lainnya yang berhubungan dengan peraturan kehidupan masyarakat.[1]
Pemikir
Politk Islam berkembang secara Luas tak lain karena berbagai peristiwa penting
sejak Rosulullah Hijrah ke Madinah, berbagai hubungan sosial dijabarkan oleh
Rosulullah, yang menyangkut kehidupan internal umat Islam dan hubungan dengan
kelompok agama dan suku lain dalam membangun Madinah. Praktek kehidupan
Rosulullah bersama para Sahabatnya di Madinah telah membuka jalan baru bagi
umat Islam untuk mengambil substansi ajaran sosial dan politik. Piagam Madinah merupakan
kontrak Rosulullah bersama komunitas Madinah, yang berbeda-beda suku dan agama
untuk membangun Madinah dalam pluralitas. Tidak lain, Piagam Madinah menjadi konstitusi pertama yang
secara brilian mampu menempatkan suku dan agama dinaungi dalam perjanjian
bersama[2].
B.
Pemerintahan Dimasa Nabi
Sekitar
tahun 610 M., Kota Mekkah yang terletak tidak jauh dari pusat pesisir Barat
Semenanjung Arabia, telah memiliki populasi sekitar 500 orang, dan seperlima diantaranya mampu berperang dimedan pertempuran. Makah merupakan sentral
perdagangan yang makmur, dan juga sebagai urat nadi Rute perdagaan antara
Samudra Hindia dengan laut Tengah. Kota ini Asalnya adalah Kota Yatsrib, kemudian
berganti nama menjadi Madinat al-Nabi, dan populer dengan sebutan
Madinah. Negara dan pemerintahan yang pertama dalam sejarah Islam itu terkenal
dengan Negara Madinah.
Kajian
terhadap Negara dan Pemerintahan ini dapat diamati dengan menggunakan dua
pendekatan. Pertama, pendekatan norma-tif Islam yang menekankan pada
pelacakan nash-nash al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang mengisyaratkan adanya
praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi dalam rangka siyasah
syar'iyah. Kedua, pendekatan deskriptif-historis dengan
mengidentikkan tugas-tugas yang dilakukan oleh Nabi di bidang muamalah sebagai
tugas-tugas negara dan pemerintahan. Hal ini diukur dari sudut pandang
teori-teori politik dan ketatanegaraan.
Terbentuknya
Negara Madinah, akibat dari perkembangan Penganut Islam yang menjelma menjadi
kelompok sosial dan memiliki kekuatan politik riil pada pasca periode Mekkah di
bawah pimpinan Nabi. Pada periode Mekkah pengikut beliau yang jumlahnya relatif
kecil belum menjadi suatu komunitas yang mempunyai daerah kekuasaan dan
berdaulat. Mereka merupakan golongan minoritas yang
lemah dan tertindas, sehingga tidak mampu
tampil menjadi kelompok sosial penekan terhadap kelopok sosial
mayoritas kota itu yang berada di bawah kekuasaan aristokrat Quraisy, yang masyarakatnya homogen. Tapi setelah Madinah, posisi
Nabi dan umatnya mengalami perubahan besar. Di kota itu, mereka mempunyai
kedudukan yang baik dan merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri.
Nabi sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang baru dibentuk itu dan yang
akhirnya merupakan suatu negara. Suatu negara yang daerah kekuasaannya di akhir
zaman nabi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Dengan kata lain di Madinah
Nabi Muhammad bukan lagi hanya mempunyai sifat Rasul, tetapi juga mempunyai sifat Kepala Negara.[3] D.B. Macdonald juga menyatakan "di
sini, Madinah! telah terbentuk negara Islam pertama dan telah meletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undangan
Islam”.[4] Dalam Negara Madinah itu, kata Thomas W.
Arnold, "dalam waktu yang bersamaan Nabi adalah sebagai Pemimpin Agama
dan Kepala Negara”.[5] Fazlur Rahman, tokoh Neo-Modernisme Islam, juga membenarkan
bahwa masyarakat Madinah yang diorganisir Nabi itu merupakan suatu negara dan
pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu umat Muslim.[6]
Perubahan
besar yang dialami oleh Nabi dan pengikutnya dari kelompok powerless (tanpa
kekuasaan) menjadi suatu komunitas yang memiliki kekuatan sosial politik
ditandai dengan beberapa peristiwa penting. Pada tahun 621 dan 622 M Nabi
berturut-turut memperoleh dukungan moral dan dukungan politik dari sekelompok
orang Arab (suku Aus dan suku Khazraj) kota Yatsrib yang menyatakan diri masuk
Islam. Peristiwa ini mempunyai keistimewaan tidak seperti halnya orang Arab
Mekkah masuk Islam. Karena disamping mereka menerima Islam sebagai agama
mereka, juga mereka membaiat Nabi. Dalam baiat di tahun 621 M, dikenal dengan Baiat
Aqabah Pertama, mereka berikrar bahwa mereka tidak akan menyembah selain
Allah, akan meninggalkan segala perbuatan jahat dan akan mentaati Rasulullah
dalam segala hal yang benar. Sedangkan pada baiat tahun 622 M, dikenal dengan Baiat
Aqabah Kedua, mereka berjanji akan melindungi Nabi sebagaimana
melindungi keluarga mereka dan akan mentaati beliau sebagai pemimpin mereka.
Nabi juga dalam kesempatan itu berjanji akan berjuang bersama mereka baik untuk
berperang maupun untuk perdamaian.[7]
Fakta
itu menunjukkan bahwa antara Nabi dan penduduk Yatsrib itu telah terjadi "fakta
persekutuan". Karena kedua pihak mencapai kesepakatan supaya saling
menjaga dan melindungi keselamatan bersama. Dalam baiat kedua tergambar pula
adanya penyerahan hak kekuasaan diri dari peserta baiat kepada Nabi yang mereka
akui sebagai pemimpin mereka. Dalam ilmu politik disebut dengan "kontak
sosial". Karena itu peristiwa kedua baiat itu, "dianggap
sebagai batu-batu pertama bagi bangunan negara Islam".[8]
Peristiwa
baiat itu mendorong Nabi berhijrah ke Yatsrib beberapa bulan kemudian. Peristiwa ini direkam dalam wahyu,
dan memuji mereka yang berhijrah.[9] Peristiwa ini oleh Arnold dinilai
sebagai "suatu gerakan strategi yang jitu". Suatu gerakan yang menyelamatkan
kaum muslim agar terbebas dari tindakan sewenang-wenang kaum Quraisy.
Aktivitas
Rosulullah yang sangat penting dan besar setelah menetap di Madinah pada tahun
pertama hijjah adalah membangun mesjid di Quba, dan menata kehidupan sosial
politik masyarakat kota itu yang bercorak majemuk. Rosulullah menempuh dua
cara, Pertama menata interen kehidupan kaum muslimin. Kedua, nabi
mempersatukan atara kaum muslimin dan kaum Yahudi bersama sekutu-sekutunya
melalui perjanjian tertulis yang terkenal dengan “Piagam Madinah” . Isi
dari Piagam Madinah diantaranya[10] :
Dengan Nama Alloh Yang
Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Ini adalah surat/ketetapan (perjanjia) dari
Nabi Muhammad antara orang-orang beriman dan muslim yang berasal dari Qurasy
dan Yatsrib serta yang mengikuti mereka dan menyusul mereka serta berjuang
bersama-sama mereka. Mereka adalah umat yang satu di luar golongan lain.
Kaum Muhajirin bebas
melaksanakan kebiasaan baik mereka dalam menerima atau membanyar tebusan darah antara sesama mereka dan menebus
tawaran mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil antara sesama orang-orang
beriman.
Banu Auf juga tetap
bebas mengikuti kebiasaan baik mereka yang berlaku, bersama-sama membanyar
tebusan darah seperti yang sudah-sudah. Setiap golongan harus menebus tawaran
mereka sendiri dengan baik dan adil diantara sesama orang-orang beriman.
Demikian juga Banu Harits, Banu Saida, Banu Jusyam, Banu Najar, Banu Amr bin
Auf dan Banu Nabit.
Orang-orang beriman
tidak boleh membiarkan seseorang yang menanggung beban hidup keluarga dan utang
yang berat di antara sesama mereka, mereka harus dibantu dengan cara yang baik
dalam membanyar tebusan atau membanyar diat.
Orang bcriman dan
bertakwa tidak boleh mengikat janji dalam menghadapi mukmin lainnya, harus
melawan orang yang melakukan kejahatan di antara mereka sendiri atau suka
melakukan aniaya, kejahatan, permusuhan dan berbuat kerusakan di antara
orang-orang beriman sendiri. Mereka semua harus bersama-sama melawannya sekalipun
terhadap anak sendiri.
Bahwa orang-orang
beriman tidak boleh saling membunuh lantaran orang kafir untuk melawan orang
beriman. Jaminan Allah itu satu. Dia melindungi yang lemah di antara mereka.
Orang beriman harus
saling tolong menolong satu sama lain. Barangsiapa dari kalangan Yahudi yang
menjadi pengikut kami, ia berhak mendapat pertolongan dan persamaan, dan tidak
boleh menganiaya atau melawan mereka.
Persetujuan orang-orang
beriman satu. Tidak dibenarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian sendiri
dengan meninggalkan mukmin lainnya dalam keadaan perang di jalan Allah, tapi
semuanya harus mengambil bagian yang sama secara adil. Setiap orang yang
berperang bersama kami satu sama lain harus saling melindungi. Mereka harus
saling membela terhadap sesamanya yang telah tewas di jalan Allah, dan
mereka yang beriman dan bertakwa hendaklah berada dalam pimpinan yang baik dan
lurus.
Sesungguhnya siapa pun
tidak boleh melindungi harta benda dan jiwa orang Quraisy dan tidak boleh
merintangi orang beriman. Barangsiapa membunuh orang beriman yang tidak
bersalah dengan cukup bukti, maka harus mendapat balasan setimpal, kecuali
keluarga si terbunuh sukarela menerima tebusan. Dan semua orang beriman harus
menentangnya dan tidak dibenarkan mereka hanya tinggal diam.
Bahwa setiap mukmin
yang menyetujui isi shahifat ini dan beriman kepada Allah dan hari
akhir, tidak dibenarkan menolong pelaku kejahatan dan tidak pula membelanya,
siapa yang menolong atau membelanya maka sesungguhnya ia akan mendapat kutukan
dan murka Allah di hari Kiamat dan tidak ada suatu tebusan yang dapat diterima
daripadanya. Bahwa bila terjadi perbedaan pendapat di antara kamu tentang
sesuatu maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah dan Muhammad SAW.
Bahwa orang-orang
Yahudi harus mengeluarkan belanja bersama orang-orang mukmin selama mereka
dalam peperangan.
Bahwa orang-orang
Yahudi Bani Auf adalah umat yang satu bersama orang-orang mukmin, orang-orang
Yahudi tetap berpegang pada agama mereka, dan orang-orang mukmin pun tetap
berpegang pada agama mereka termasuk pendu-kung-pendukung mereka dan diri
mereka sendiri kecuali orang yang berlaku zalim dan dosa, bahwa orang seperti
ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri dan keluarganya. Demikian pula
orang-orang Yahudi Bani al-Najjar, Bani al-Harits, Bani Saidah, Bani Jusyam,
Bani Aus, Bani Tsa'labah dan keluarganya Jafhah, Bani Syutaibah, pemuka-pemuka
Tsa'labah, dan sekutu kaum Yahudi diperlakukan sama seperti Bani Auf.
Bahwa tidak seorang pun
dari mereka (penduduk Madinah) dibolehkan keluar kecuali dengan izin Nabi
Muhammad SAW. Tapi seseorang tidak boleh dihalangi menuntut haknya (balas)
karena dilukai, dan bahwa siapa yang melakukan kejahatan berarti ia melakukan
kejahatan terhadap dirinya dan keluarganya, kecuali bila orang itu melakukan
aniaya. Sesungguhnya Allah memperhatikan ketentuan yang paling baik dalam hal
ini.
Bahwa orang-orang
Yahudi harus menanggung belanja mereka sendiri, dan orang-orang mukmin harus
menanggung belanja mereka sendiri. Tapi di antara mereka harus ada kerjasama
tolong-menolong dalam menghadapi orang yang menyerang terhadap pemilik shahifat
ini, dan bahwa di antara mereka hendaklah saling nasehat-menasehati dan
berbuat kebaikan tanpa dosa. Bahwa seseorang tidak bertanggung jawab atau ikut
memikul kesalahan orang lain, tapi ia harus menolong orang teraniaya.
Bahwa orang-orang
Yahudi wajib menanggung biaya bersa-ma orang-orang mukmin selama mereka dalam
keadaan pe-rang. Bahwa Yatsrib menjadi tempat suci bagi yang menga-kui
perjanjian ini.
Bahwa tetangga itu
seperti diri sendiri, tidak boleh dimudarati dan diperlakukan jahat. Bahwa
suatu kehormatan tidak boleh dilindungi kecuali atas izin pemihknya.
Bahwa bila antara
orang-orang yang menyetujui perjanjian ini terjadi suatu peristiwa atau
perselisihan yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, maka hendaklah dikembalikan
kepada Allah dan Muhammad Rasulullah SAW. Sesungguh-nya Allah memperhatikan isi
perjanjian ini dan melindungi-nya.
Bahwa tidak boleh
diberikan perlindungan kepada kaum Quraisy dan orang yang menolongnya.
Bahwa antara mereka
harus sating membantu melawan orang yang mau menyerang Yatsrib. Apabila mereka
(penyerang) diajak berdamai, lalu mereka memenilhi ajakan damai itu dan
melaksanakannya, maka sesungguhnya mereka telah berdamai dan melaksanakannya
(perdamaian itu dianggap sah), dan bahwa bila mereka (orang-orang mukmin)
diajak berdamai seperti itu maka orang-orang mukmin wajib menerima-nya kecuali
terhadap orang yang memerangi agama. Setiap orang berkewajiban melaksanakan
kewajiban sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
Sesungguhnya Yahudi
Aus, sekutu-sekutu mereka dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti
apa yang terda-pat bagi pemilik shahifat ini serta memperoleh perlakuan yang
baik dari yang menyetujui perjanjian ini.
Sesungguhnya kebaikan
itu tidak boleh dicampur aduk dengan kejahatan dan orang yang melakukannya
akan memikul sendiri akibatnya. Dan bahwa Allah bersama pihak yang benar dan
patuh menjalankan isi perjanjian ini. Hanya orang aniaya dan jahat yang berani
melanggar perjanjian ini.
Barangsiapa yang keluar
atau tinggal dalam kota Madinah ini, ia akan aman, keselamatannya tcrjamin,
kecuali orang yang berbuat aniaya dan melakukan kejahatan. Sesungguhnya Allah
melindungi orang yang berbuat kebajikan dan bertakwa, dan Muhammad Rasulullah
SAW.[11]
Setelah
diteliti dan dikaji secara mendalam, naskah perjanjian tersebut mengandung
beberapa prinsip, yaitu: prinsip orang-orang muslim dan mukmin adalah umat yang
satu dan antara mereka dan non-muslim adalah juga umat yang satu (semua manusia
adalah umat yang satu); prinsip persatuan dan persaudaraan; prinsip persamaan;
prinsip kebebasan; prinsip tolong-menolong dan membela yang teraniaya; prinsip
hidup bertetangga; prinsip keadilan; prinsip musyawarah; prinsip pelaksanaan
hukum dan sanksi hukum; prinsip kebebasan beragama dan hubungan antar pemeluk
agama (hubungan antar bangsa/interna-sional); prinsip pertahanan dan
perdamaian; prinsip amar makruf dan nahi munkar, prinsip
kepemimpinan; prinsip tanggung jawab pribadi dan kelompok; dan, prinsip
ketakwaan dan ketaatan (disiplin).
Prinsip-prinsip
tersebut sangat modern untuk masa itu. Bahkan untuk dewasa ini pun tetap
relevan karena nilai-nilainya yang universal. Sebab prinsip-prinsip tersebut
telah menjadi tuntutan berbagai bangsa di dunia agar tegak dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara, yaitu
tatanan masyarakat yang demokratis, adil dan damai. Karena pada hakikatnya
implementasi prinsip-prinsip tersebut merupakan penghargaan terhadap hak-hak
asasi manusia, dan akan menumbuhkan demokratisasi dalam berbagai aspek
kehidupan. Maka amatlah tepat komentar Nur Cholish Madjid berikut ini:
“Bunyi naskah
Konstitusi itu sangat menarik. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut
tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam Konstitusi itulah untuk pertama kali-nya
dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia, seperti
kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan
keyakinan-nya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan, dan lain-lain.
Tetapi juga ditegaskan adanya suatu kewajiban umum, yaitu partisipasi dalam
usaha pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar."[12]
Sedangkan
mengapa naskah perjanjian tersebut bisa terwujud, menurut Hitti,[13] merupakan bukti kemampuan Beliau
Nabi Muhammad SAW melakukan negosiasi dan konsolidasi dengan berbagai kabilah
dan kelompok sosial Madinah, sehingga beliau diakui oleh mereka sebagai
pemimpin mereka. Penilaian ini didasarkan pada keberhasilan beliau
mempersatukan kaum muslimin yang berasal dari berbagai kabilah menjadi satu
umat. Beliau juga mempersatukan kaum muslimin dan kaum Yahudi menjadi satu umat
dan menetapkan persamaan hak dan kewajiban mereka dalam masalah-masalah umum,
sosial, dan politik.
Dengan
demikian, bukti-bukti historis dan karya nyata Nabi tersebut, menunjukkan bahwa
beliau secara nyata dan arif menata hubungan manusia dengan Tuhan, dan
hubungan antara sesama manusia. Al-Qur'an menyebutnya hablun min Allah wa
hablun min al-nas (Q.S. Ali'Imran/3:112). Tujuan Nabi mengatur hablun
min al-nas masyarakat Madinah adalah untuk menetralisir kekuasaan
kelompok-kelompok sosial yang ada yang sering terjerumus kepada konflik, dan
untuk membimbing mereka agar hidup dalam suasana kerjasama. Pada segi ini,
dilihat dari ilmu politik, langkah Nabi ini menunjukkan beliau telah
melaksanakan kekuasaan seperti yang dimiliki oleh negara yaitu kekuasaan
politik. Kekuasaan politik yang dikuasai oleh negara bertujuan untuk mengatar
hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat, mengontrol dan menertibkan
unsur-unsur atau gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Karena manusia
disamping hidup dalam suasana kerjasama antagonistis, penuh konflik dan
persaingan. Pengaturan hubungan-hubungan tersebut, walaupun ada unsur
pemaksaan, adalah untuk menetapkan tujuan-tujuan kehidupan bersama.[14]
Oleh
karena itu, Pickthal menilai kelahiran dan fungsi naskah perjanjian itu,
menjadi bukti bahwa Nabi menampilkan diri sebagai sosok pemimpin untuk
menetapkan dan mengatur kepentingan umum sebagai undang-undang negara (the constitution
of the state).[15] Dan lahirnya piagam tersebut sebagai
pernyataan terben-tuknya Negara Madinah. Sekalipun Nabi tidak pernah mengatakan
bahwa beliau mendirikan negara, dan tak satu pun ayat al-Qur'an yang
memerintahkan beliau agar mendirikan negara. Tapi karena ajaran Islam memadukan
antara urusan agama dan dunia, diperlukan adanya lembaga dan pemimpin untuk
melaksanakannya, dan Nabi
telah mempraktekkannya. Pendapat penulis, bahwa Agama dan Negara itu sama,
ada juga bahwa Agama atau Negara itu berbeda sedangkan Agama dan Negara itu
berjalan keduanya.
Dikatakan
bahwa masyarakat yang dipimpin Nabi itu adalah negara, karena dari sudut ilmu
politik, memenuhi syarat untuk disebut sebagai negara. Syarat berdirinya negara adalah adanya wilayah, penduduk dan
pemerintahan yang berdaulat.[16] Semua unsur ini terdapat dalam
negara Islam pertama itu. Wilayahnya adalah kota Madinah dan sekitarnya,
rakyatnya terdiri dari unsur-unsur kaum Muhajirin, kaum Ansar, dan kaum Yahudi
serta sekutunya yang menetap di kota Madinah, dan pemerintahan yang berdaulat
dipegang oleh Nabi Muhammad dan dibantu oleh para sahabatnya. Undang-undangnya
berdasarkan Syariat Islam yang diwahyukan oleh Allah dan Sunnah Rasul termasuk
Piagam Madinah. Kepemimpinan Nabi selaku kepala negara adalah untuk mengatur
segala persoalan dan memikirkan kemaslahatan umat secara keseluruhan, dalam
rangka pelaksanaan siyasah syar'iyah.
Kapasitas
Beliau Muhammad SAW sebagai Pemimpin Ummat Manusia dapat dibuktikan dengan
tugas-tugas yang beliau lakukan sebagaimana termuat dalam berbagai literatur.
Beliau membuat undang-undang dalam bentuk tertulis, mempersatukan penduduk
Madinah yang bercorak heterogen untuk mencegah timbulnya konflik-konflik di
antara mereka agar terjamin ketertiban interen. Beliau mengadakan perjanjian
damai dengan tetangga agar terjamin ketertiban
eksteren, menjamin kebebasan bagi semua golongan, mengorganisir militer dan memimpin
peperangan, melaksanakan hukum bagi pelanggar hukum dan perjanjian, menerima
perutusan-perutusan dari berbagai suku Arab di Jazirah Arab, mengirim
surat-surat dan delegasi kepada para penguasa di Jazirah Arab, mengelola zakat
dan pajak serta larangan riba di bidang ekonomi untuk menjembatani jurang
pemisah antara golongan kaya dan miskin, menjadi hakam (arbiter) dalam
menyelesaikan perbedaan pendapat dan perselisihan, menunjuk para sahabat untuk
menjadi wali dan hakim di daerah-dacrah dan menunjuk wakil beliau di Madinah
bila beliau bertugas keluar, melaksanakan musyawarah dan sebagainya. Di dalam
ilmu politik dan tatanegara juga disebutkan bahwa tugas-tugas pemerintah untuk
mencapai tujuan negara adalah melaksanakan penertiban dan mencegah bentrokan-bentrokan
dalam masyarakat, mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, mewujudkan
pertahanan dan menegak-kan keadilan.[17] Dalam sumber lain menyebutkan
bahwa tugas-tugas kepala negara atau pemerintah dengan aparaturnya adalah
mengurus negara dan memimpin seluruh rakyat dalam berbagai aspek kehidupan,
mempertahankan kemerdekaan, melaksanakan keamanan dan ketertiban umum agar terhindar dari gangguan dan
serangan dari luar maupun dari dalam, mengembangkan segala sumber bagi
kepentingan hidup bangsa dalam bidang-bidang sosial, politik, ekonomi dan
kebudayaan.[18]
Sosok
kepemimpinan Nabi Muhammad dalam kapasitasnya sebagai pemimpin masyarakat,
pemimpin politik, pemimpin militer dan sebagai perunding tampak dalam praktek
musyawarah yang dilakukannya dalam beberapa contoh berikut. Dalam al-Qur'an ada
dua ayat yang menyatakan pujian terhadap orang-orang yang melaksanakan
musyawarah sebelum mengambil keputusan, dan perintah melaksanakan musyawarah. Dan orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka dan mendirikan salat,
sedangkan urusan mereka (diselesaikan) dengan musyawarah di antara mereka,
(Q.S. al-Syura/42:38) dan Bermusyawarahlah dengan mereka dalam semua urusan,
dan apabila sudah mengambil keputusan mengenai suatu perkara maka
bertawakallah kepada Allah. (Q.S. Ali Imran/3:159) Perintah musyawarah dalam ayat terakhir ini bisa
bermakna khusus: "Hai Muhammad bermusya-warah dengan para sahabat
sebelum memutuskan setiap masalah kemasyarakatan," dan bermakna umum; "Wahai
umat Islam bermusyawarahlah kamu dalam memecahkan setiap masalah kemasyarakatan”.
Kewajiban ini diamanahkan kepada penyelenggara urusan negara dan yang berwenang
menangani urusan masyarakat. Dengan petunjuk dua ayat tersebut, Nabi membudayakan musyawarah di
kalangan sahabatnya. Dalam bermusyawarah terkadang beliau hanya bermusyawarah
dengan sebagian sahabat yang ahli dan
cendekia, dan terkadang pula hanya minta pendapat dari salah seorang mereka. Tapi bila masalahnya pcnting dan
bcrdampak luas bagi kehidupan sosial masyarakat, beliau mcnyampaikannya dalam
pertemuan yang lebih besar yang mcwakili semua golongan.[19]
Perang
Badar tahun ke-2 H. I624 M.
Perang ini merupakan kontak senjata pertama
antara kaum muslimin dan kaum musyrik. Nabi dalam menghadapi perang ini bclum
mcncntukan sikap kecuali setelah mengadakan musyawarah lebih dulu untuk
mcn-dapat persetujuan kaum Muhajirin dan Ansar. Untuk ilu beliau
membicarakankondisi mereka, seperti belanja pcrang yang mereka punyai, dan
jumlah mereka yang sedikit. Beliau juga minta sikap kaum Ansar sebagai golongan
terbesar kaum muslimin dalam menghadapi perang tersebut. Mereka menyatakan siap
mengorbankan segala-galanya demi perjuangan Rasul. Setelah mereka sepakat
menghadapi kaum Quraisy, Nabi dan pengikutnya berangkat menuju suatu tempat,
Badar, terletak antara Mekkah dan Madinah. Ketika menjelang
pertempuran, Nabi mcmu-tuskan untuk menempatkan posisi pasukannya di suatu
tempat dekat satu mata air di Badar. Mengctahui hal ini Hubab al-Mundzir,
seorang Ansar, datang mendekat Nabi dan berkata: "Ya Rasulullah, apakah
penentuan posisi ini atas pctunjuk Allah yang karenanya kita tidak boleh maju
atau mundur dari tempat itu, ataukah keputusan itu semata-mata pendapat
Rasul?" Rasul menjawab bahwa keputusan itu b'ukan atas petunjuk AlJah
mela-inkan pendapatnya sendiri. Hubab berkata: "Kalau begitu, tempat ini
sungguh tidak tepat ya Rasulullah. Sebaiknya kita maju lebih ke mata air
daripada musuh, lalu kita bawa banyak tempat air untuk kita isi dari mata air
itu kemudian kita menimbunnya dengan pasir sehingga kita dapat minum, sedangkan
musuh tidak." Rasul menjawab: "Saya setuju dengan pcndapat
ini." Kemudian beliau bersama pasukannya bergerak menuju lokasi yang
dimaksudkan oleh Hubab.[20]
Masalah
tawanan perang Badar. Pasukan Islam di bawah pimpinan Nabi
memenangkan peperangan tersebut, dan berhasil membawa pulang sejumlah tawanan.
Nabi sebelum menentukan perlakuan terhadap mereka, lebih dulu bermusyawarah
dengan para sahabat. Dalam musyawarah itu muncul dua pendapat yang saling
bertentangan. Abu Bakar berpendapat: "Ya Nabi Allah, mereka itu adalah keluarga
dan saudara-saudara Nabi, maka saya berpendapat agar engkau mengambil imbalan
tebusan tunai dari mereka yang demikian kita dapat mengambil kekuatan dari
mereka dan menjadi penolong bagi kita dan mudah-mudahan Allah mem-beri hidayah
kepada mereka." Kemudian Rasul bertanya kepada Umar: "Bagaimana
pendapatmu wahai Ibn al-Khatthab?" Umar menjawab: "Demi Allah, saya
tidak sependapat dengan Abu Bakar, akan tetapi saya berpendapat bahwa kalau
engkau memberi kuasa kepadaku seseorang, maka saya akan memotong lehemya, dan
engkau beri kuasa kepada Hamzah agar ia memotong leher saudaranya, juga engkau
beri kuasa kepada Ah untuk membunuh saudaranya Aqil. Dengan demikian Allah
mengetahui bahwa di dalam hati kita tidak bersifat lemah lembut terhadap
orang-orang kafir. Sebab mereka itu adalah para pemuka dan pemimpin kaum
Quraisy." Nabi dalam mengambil keputusan, kata Umar, tidak mengikuti
pendapatnya melainkan mengikuti pendapat Abu B akar. Namun behau memberi
kebebasan kepada para sahabat untuk memilih; melepaskan para tawanan dengan
tebusan tunai atau membunuhnya. Temyata masyarakat melepaskan para tawanan
setelah mereka membayar tebusan tunai yang jumlahnya disesuai-kan dengan
kemampuan masing-masing. Sedangkan mereka yang tidak mampu membayar tebusan
tapi memiliki kemampuan membaca dan menulis diwajibkan mengajar penduduk
Madinah, seorang tawanan untuk sepuluh orang. Besok harinya Umar menemukan Nabi
duduk bersama Abu Bakar dan keduanya se-dang menangis. Umar menanyakan apa yang
membuat mereka menangis. Nabi menerangkan bahwa beliau menangisi keputusan yang
meminta tebusan dari para tawanan, dan seandainya turun azab pada waktu itu
maka hanya Umar yang lepas dari azab itu.[21] Karena memang tidak lama setelah
pelaksanaan putusan itu kemudian turun wahyu yang mencela tindakan Nabi
mengambil tebusan dari para tawanan, yaitu ayat 67 surat al-Anfal.
Perang
Uhud tahun ke-3 H/625 M. Nabi juga mengadakan musyawarah dengan
para sahabatnya untuk menentukan strategi dalam menghadapi musuh, yaitu apakah
bertahan dalam kota Madinah atau keluar menyongsong musuh dari Mekkah itu. Nabi
berpendapat lebih baik bertahan dalam kota. Pendapat ini diso-kong oleh
Abdullah bin Ubay, pimpinan kaum munafik Madinah. Tapi karena mayoritas sahabat
berpendapat keluar dari kota, maka Nabi mengikuti pendapat mayoritas. Keputusan
tersebut ia pegang teguh dan setia sekalipun ketika di tengah perjalanan mereka
yang berpendapat mayoritas ingin menarik kembali pendapat mereka. Mereka
memberikan kebebasan kepada Nabi untuk mengubah keputusan itu sesuai dengan
pendapatnya sendiri. Se-mentara Abdullah bin Ubay bersama pengikutnya,
sepertjga dari jumlah pasukan, menarik diri dan kembali ke Madinah. Dan ketika
seorang Ansar mengusulkan agar mereka meminta bantu an kepada kaum Yahudi, yang
ketika itu adalah sekutu orang-orang Islam, sebagai tercantum dalam Piagam
Perjanjian, Nabi meno-laknya dengan mengatakan: "Kita tidak membutuhkan
mereka."[22] Sedangkan dalam perang Khandaq
Nabi tidak mengikuti pendapat mayoritas. Beliau mengikuti pendapat Salman
al-Farisi yang mengusulkan agar kaum muslimin membuat parit di sekitar kota
Madinah dan memperkuat pertahanan dalam kota. Pendapat ini ditcntang oleh kaum
Ansar dan Muhajirin. Tapi akhirnya mereka mencrima pendapat tersebut setelah
Nabi memberi persetujuan-nya.[23]
Perjanjian
damai Hudaibiyah tahun ke-7 H. Perjanjian ini terjadi antara Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy
Mekkah. Nabi ketika membuat naskah perjanjian yang ditulis oleh Ah bin Abi
Thalib tidak menggubris pcndapat sahabatnya, seperti Abu Bakar dan Umar. Beliau
sclalu mengikuti kehendak Suhail bin 'Amr, wakil kaum Quraisy. Ketika Nabi
memerintahkan Ali menuliskan: "Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang," Suhail protes dengan mengatakan ia tidak mengenal kalimat
itu dan minta diganti dengan kalimat. "Dengan namaMu ya Tuhan." Nabi
mengiyakannya dan minta Ali menulis-nya. Kemudian Nabi memerintahkan Ali untuk
menulis: "Ini adalah naskah perjanjian Muhammad Utusan Allah bersama
Suhail bin 'Amr." Suhail lagi-lagi tidak setuju dengan alasan jika ia percaya
bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, maka ia tidak akan memusuhinya. Karenanya
ia minta: "Tuliskan saja namamu dan nama ayahmu." Nabi mcnyetujuinya
dan memerintahkan Ali untuk menuliskan:"Ini adalah naskah perjanjian
Muhammad bin Abdullah bersama Suhail bin 'Amr." Para sahabat sangat marah
melihat Nabi yang mengikuti saja kehendak Suhail. Tapi beliau tidak
mempedulikannya.[24] Dengan demikian Rasul bersedia
menghapus tujuh kata karena Suhail yang mewakili mayoritas penduduk Mekkah yang
masih musyrik tidak dapat menerimanya. Tujuh kata yang dihapus adalah: bismi,
Allah, al-rahmdn, al-rahim, Muhammad, Rasul dan Alloh.[25] Demikian juga isi perjanjian
kurang dapat diterima para sahabat karena lebih menguntungkan pihak Quraisy.
Pranata
sosial lain dari praktek pemerintahan Nabi adalah membangun hubungan yang
harmonis antara warga negara mus-i lim dan non-muslim yang disebut dzimmi. Walaupun
mereka berbeda agama, sebagaimana diatur dan disahkan dalam Piagam Madinah,
namun mereka mcmpcrolch hak yang sama dalam hal perlindungan dan keamanan jiwa,
mcmbcla diri, kebebasan bcra-gama, kebebasan berpendapat dan kedudukan di depan
hukum. Mereka juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam mempertahankan
keamanan kota Madinah, dan mereka juga harus menjalin kerjasama dalam
mewujudkan kebaikan di berbagai bidang kehidupan. Nabi juga mengadakan hubungan
dengan penguasa-penguasa yang ada di Jazirah Arab dengan mengirim-kan
surat-surat melalui utusan-utusan behau, seperti kepada Kaisar Romawi, Kisra
Persia (dua kerajaan besar saat itu), penguasa Mesir, penguasa Bahrain dan
penguasa Basrah, dan sebagainya.[26] Surat-surat Nabi kepada para
penguasa atau kepala negara tersebut diperkirakan berjumlah 30 buah pucuk
surat. Memang inti surat-surat itu untuk tujuan dakwah; mengajak mereka kepada
Islam, sebagai bagian dari missi kenabiannya, dan antara Negara Madinah dan
negara-negara tersebut belum terjadi pada tingkat hubungan diplomatik seperti
yang dikenal sekarang. Tapi pada sisi lain tersirat kehendak Nabi agar tercipta
hubungan damai. Dengan adanya hubungan damai dan saling pengertian diharap-kan
para penguasa tersebut dapat menerima kehadiran Islam di wilayah kekuasaan
mereka. Ini dapat disebut sebagai "politik dakwah Nabi" dalam rangka
syiar Islam.
Praktek
pemerintahan yang dilakukan Muhammad SAW sebagai Kepala Negara lainnya tampak
pula pada pelaksanaan tugas-tugas yang tidak terpusat pada diri beliau. Dalam
piagam Madinah behau diakui sebagai pemimpin tertinggi, yang berarti pemegang
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikauf. Tapi walaupun pada masa itu orang
belum mengenal teori pemisahan atau pembagian kekuasaan, namun dalam prakteknya
behau mendelegasikan tugas-tugas eksekutif dan yudikatif kepada para sahabat
yang dianggap cakap dan mampu.
Timbulnya
berbagai masalah yang dihadapi dan perkembangan wilayah kekuasaan menuntut
adanya peta pembagian tugas. Untuk pemerintahan di Madinah Nabi menunjuk
beberapa sahabat sebagai pembantu beliau, sebagai katib (sekretaris),
sebagai 'amil (pengelola zakat) dan sebagai qadhi (hakim). Untuk
pemerintahan di daerah Nabi mengangkat seorang wali, seorang qadhi
dan
seorang 'until untuk setiap daerah atau propinsi. Pada masa Rasulullah
Negara Madinah terdiri dari sejumlah propinsi, yaitu Madinah, Tayma, al-Janad,
daerah Banu Kindah, Mekkah, Naj-ran, Yam an, Hadramaut, Oman dan Bahrain.
Masing-masing pejabat memiliki kewenangan sendiri dalam melaksanakan tugas nya.
Seorang qadhi diberi beberapa kebebasan penuh dalam memutuskan setiap perkara,
karena secara struktural ia tidak ber-ada di bawah wah. Ah bin Abi Thalib dan
Muaz bin Jabal adalah dua orang qadhi yang diangkat Nabi, yang bertugas di dua
propinsi berbeda.[27] Nabi juga selalu menunjuk sahabat
untuk bertugas di Madinah bila behau bertugas keluar, memimpin pasukan
misal-nya.[28] Demikian pula kedudukan behau
sebagai panglima perang, behau sering wakilkan kepada para sahabat. Seperti dalam
perang Muktah (8 H), behau menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai pang-limanya.
Behau juga berpesan: Kalau Ziad gugur, maka Ja'far bin Abi Thalib memegang
pimpinan, dan kalau Ja'far gugur, maka Abdullah bin Rawaha memegang pimpinan.[29]
Adapun
pranata sosial di bidang ekonomi yang juga menjadi bagian dari tugas
kenegaraan, adalah usaha Nabi Muhammad SAW mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan sosial rakyat Madinah. Untuk tujuan ini behau mengelola zakat,
infaq dan sadaqah yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah yaitu harta
rampasan perang dan jizyah yang berasal dari warga negara non-muslim. Jizyah
oleh kalangan juris muslim disebut juga "pajak perlindungan" (protection
tax)[30].
Sedangkan
praktek pemerintahan Nabi Muhammad di bidang hukum adalah kedudukan behau
sebagai hakam untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul di kalangan
masyarakat Madinah, dan menetapkan hukuman terhadap pelanggar perjanjian.
Ketika kaum Yahudi melakukan pelanggar an sebanyak tiga kali terhadap isi
Piagam Madinah, dua kali behau bertindak sebagai hakam-nya, dan sekali
behau wakilkan kepada sahabat untuk melaksanakannya.[31] Kedudukannya sebagai hakam dan
tugas ini pemah behau wakilkan kepada sahabat, dan penunjukan Muaz bin Jabal
dan Ali bin Abi Thalib sebagai hakim, merupakan bukti praktek pemerintahan Nabi
di bidang pranata sosial hukum.
Dari
sebagian contoh praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Muhammad SAW tersebut,
tampak bahwa behau dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara dalam memerintah
Negara Madinah dapat dikatakan amat demokratis. Sekahpun undang-undangnya
berdasarkan wahyu Allah yang beliau terima, dan Sunnah beliau termasuk Piagam
Madinah. Beliau tidak bertindak otoriter sekahpun itu sangat mungkin behau
lakukan dan akan dipatuhi oleh umat Islam mengingat statusnya sebagai Rasul
Allah yang wajib ditaati.
Dalam
kontek itu beberapa ahli mengemukakan pendapat yang berbeda mengenai bentuk dan
corak Negara Madinah tersebut di zaman Rasulullah. Ah Abd al-Raziq berpendapat
bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai pemerintahan dan tidak pula mcmbentuk
kerajaan. Sebab beliau hanya seorang Rasul sebagai-mana Rasul-Rasul lain, dan
bukan sebagai seorang raja atau pembentuk negara. Pcmbcntukan pemerintahan
tidak termasuk dalam tugas yang diwahyukan kepada beliau. Walaupun
kegiatan-kegiatan tersebut dapat disebut kegiatan pemerintahan, namun bentuk
pemerintahannya sangat sederhana, dan kekuasaannya bersifat umum, mencakup soal
dunia dan akhirat. Karena sebagai Rasul beliau harus mempunyai kekuasaan yang
lebih luas dari kekuasaan seorang raja terhadap rakyatnya. Kepemimpinan beliau
adalah kepemimpinan seorang Rasul yang membawa ajaran baru, dan bukan
kepemimpinan seorang raja, dan kekuasaannya hanyalah kekuasaan seorang Rasul,
bukan kekuasaan seorang raja.[32]
Dari
uraian mengenai Negara Madinah pada periode Muhammad SAW, tampak aktivitas
beliau tidak hanya menonjol di bidang risalah kenabian (dalam kapasitasnya
sebagai Nabi dan Rasul) untuk mengajarkan wahyu yang diterimanya dari Allah SWT
kepada manusia. Tetapi juga menonjol di bidang keduniaan untuk membangun
kcbuluhan spiritual dan kcbuluhan material masyarakat yang terdiri dari
berbagai etnis, penganut agama dan keyakinan yang berada di bawah kepemimpinannya.
Artinya Nabi Muhammad SAW telah menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang
bcrhasil melaksanakan prinsip keseimbangan antara kemaslahatan dunia dan
kemaslahatan akhirat bagi umatnya. Terlaksananya prinsip
keseimbangan ini karena beliau menerapkan secara konsisten prinsip musyawarah,
prinsip kebebasan berpendapat, prinsip kebebasan beragama, prinsip persamaan
bagi semua lapisan sosial, prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan sosial
rakyat baik kesejahteraan materilnya maupun kesejahteraan spiritualnya, prinsip
persatuan dan persaudaraan, prinsip amar makruf dan nahi munkar, dan
prinsip ketakwaan.[33]
Sebagai
seorang pemimpin politik, Rosululloh SAW. telah melakukan suatu perubahan yang
sangat besar dan tergolong Modern di zamannya. Di tengah masyarakat nomadik,
beliau sistem masyarakat sipil yang berkeadaban. Di tengah masyarakat kesukuan
beliau ciptakan persaudaraan yang lebih luas melinyasi suku dan ras. Beliau
juga meletakkan dasar-dasar sistem keunagan publik yang terbukti
keberhasilannya dalam membiayai kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya.[34]
C.
Pemerintahan Masa Khulafa Al-Ra Syidin
Dengan
wafatnya Nabi, berakhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni
kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan
temporal (duniawi) yang berdasarkan kenabian dan bersumberkan Wahyu Ilahi.
Situasi tersebut tidak akan terulang kembali, karena menurut kepercayaan Islam,
Nabi Muhammad adalah nabi dan utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu, beliau
tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa di antara para sahabat yang
harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat. Dalam Al-Quran maupun Hadis
Nabi tidak terdapat petunjuk tentang bagaimana cara menentukan pemimpin umat
atau kepala negara sepeninggal beliau nanti, selain petunjuk yang sifatnya
sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang
menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku
tentang bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah salah satu sebab
utama mengapa pada empat Al-Khulafa Ar-Rasyidin ditentukan melalui musyawarah,
tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka ragam.[35]
Abu
Bakar menjadi khalifah pertama melalui pemilihan satu pertemuan yang
berlangsung pada hari kedua setelah Nabi wafat dansebelum jenazah beliau
dimakamkan. Itulah antara lain yang menyebabkan kemarahan keluarga Nabi,
khususnya Fatimah, putri tunggal beliau. Mengapa mereka demikian terburu-buru
mengambil keputusan tentang pengganti Nabi sebelum pemakaman dan tidak
mengikutsertakan keluarga dekat Nabi seperti Ali bin Abu Thalib dan Utsman bin
Affan (dua menantu Nabi). Akan tetapi, penyelenggaraan pertemuan tersebut tidak
direncanakan terlebih dahulu, dan berlangsung karena terdorong keadaan.
Pada
pagi hari itu, Umar bin Khaththab mendengar berita bahwa kelompok Anshar sedang
melangsungkan pertemuan di Saqifah atau balai pertemuan Bani Saidah, Madinah,
untuk mengangkat Saad bin Ubadah, seorang tokoh Anshar dari suku Khazraj,
sebagai khalifah. Dalam keadaan gusar, Umar cepat-cepat pergi ke rumah kediaman
Nabi dan menyuruh seseorang untuk menghubungi Abu Bakar, yang berada dalam
rumah, dan memintanya keluar. Semula Abu Bakar menolak dengan alasan sedang
sibuk Namun, akhirnya dia keluar setelah diberi tahu bahwa telah terjadi satu
peristiwa penting yang mengharuskan kehadiran Abu Bakar. Abu Bakar dan Umar
segera pergi ke balai pertemuan Bani Saidah. Di tengah jalan, mereka bertemu
dengan Abu Ubaidah bin Jarah, seorang sahabat senior yang juga dari kelompok
Muhajirin, dan mereka mengajaknya ikut serta.
Ketika
tiga tokoh tersebut sampai di balai pertemuan, sudah datang pula sejumlah orang
Muhajirin, dan bahkan telah terjadi perdebatan sengit antara kelompok Anshar
dan kelompok Muhajirin. Umar hampir tidak dapat menguasai diri, tetapi ketika
beliau hendak berbicara, Abu Bakar berusaha menghentikannya. Abu Bakar dengan
nada tenang mulai berbicara. Kepada kelompok Anshar, beliau mengingatkan,
bukankah Nabi pernah bersabda bahwa kepemimpin umat Islam itu seyogianya berada
pada tangan suku Quraisy, dan bahwa hanya di bawah pimpinan suku itulah akan
terjamin keutuhan, keselamatan, dan kesejahteraan bangsa Arab? Dia juga
mengingatkan orang-orang Anshar tentang masalah mereka sebelum masuk Islam.
Bukankah suku Khazraj dan suku Aus selalu bermusuhan, dan seandainya nanti yang
menjadi khalifah seorang Anshar, salah satu dari dua suku utama itu, besar
kemungkinan suku yang lain tidak menerimanya, sehingga muncul kembali
permusuhan pada zaman Jahiliyah. Kemudian, Abu Bakar menawarkan dua tokoh
Quraisy untuk dipilih sebagai khalifah, yaitu Umar bin Khaththab atau Abu
Ubaidah bin Jarah. Orang-orang Anshar tampaknya sangat terkesan oleh ucapan Abu
Bakar.
Umar
tidak menyia-nyiakan momentum yang sangat baik itu. Dia bangun dari tempat
duduknya dan menuju ke tempat Abu Bakar untuk berbaiat dan menyatakan
kesetiaannya kepada Abu Bakar sebagai khalifah, seraya menyatakan bahwa
bukankah Abu Bakar yang selalu diminta oleh Nabi untuk menggantikan beliau
sebagai imam shalat bilamana Nabi sakit, dan bahwa Abu Bakar adalah sahabat
yang paling disayangi oleh Nabi. Perbuatan Umar itu diikuti oleh Abu Ubaidah
bin Jarah. Akan tetapi, sebelum dua tokoh Quraisy itu tiba di depan Abu Bakar
dan mengucapkan baiat, Basyir bin Saad, seorang tokoh Anshar dari suku Khazraj,
mendahului mengucapkan baiatnya kepada Abu Bakar. Barulah kemudian Umar dan Abu
Ubaidah serta para hadirin, baik dari kelompok Muhajirin maupun kelompok
Anshar, termasuk Asid bin Khudair, seorang tokoh Anshar dari Aus. Baiat
terbatas ini kemudian terkenal dalam sejarah Islam dengan nama Bai'at Saqifah,
atau baiat di balai pertemuan. Pada hari berikutnya, Abu Bakar naik mimbar di
Masjid Nabawi dan berlangsunglah baiat umum.[36]
Menurut
Mawardi, pada hakikatnya, pemilihan Abu Bakar di balai pertemuan Bani Saidah
itu dilakukan oleh kelompok kecil yang terdiri dari lima orang selain Abu
Bakar. Mereka ialah Umar bin Khaththab, Abu Ubaidah bin Jarah, Basyir bin Saad,
Asid bin Khudair, dan Salim, seorang budak Abu Khuzaifah yang telah
dimerdekakan. Seperti telah diuraikan di atas, dua di antara mereka berasal
dari kelompok Muhajirin atau Quraisy, dan dua lagi berasal dari kelompok
Anshar, masing-masing dari unsur Khazraj dan unsur Aus. Memang betul, banyak
sahabat senior yang tidak ikut hadir pada pertemuan itu, seperti Ali bin Abu
Thalib, Utsman bin Affan, Abd al-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi
Waqqash dan Thalhah bin Ubaidillah. Akan tetapi, ditinggalkannya mereka bukan
suatu kesengajaan, karena seperti yang telah diuraikan terdahulu, pertemuan itu
tidak direncanakan. Keadaan waktu itu amat genting, sehingga memerlukan
tindakan cepat dan tegas. Kemudian, para sahabat senior tersebut seorang demi
seorang, kecuali Zubair, dengan sukarela berbaiat kepada Abu Bakar. Zubair
memerlukan tekanan dari Umar agar bersedia berbaiat. Adapun Ali bin Abu Thalib,
menurut banyak ahli sejarah, baru berbaiat kepada Abu Bakar setelah Fatimah
istri Ali dan putri tunggal Nabi, tutup usia.
Umar
bin Khaththab, berbeda dengan pendahulunya, Abu Bakar, mendapatkan kepercayaan
sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah
yang terbuka, tetapi melalui penunjukan atau wasiat oleh pendahulunya. Pada
tahufi ketiga sejak menjabat khalifah, Abu Bakar jatuh sakit. Selama lima belas
hari, dia tidak pergi ke masjid, dan meminta kepada Umar agar mewakilinya
menjadi imam shalat. Makin hari, sakit Abu Bakar makin parah dan timbul
perasaan padanya bahwa ajalnya sudah dekat. Sementara itu, kenangan tentang
pertentangan di balai pertemuan Bani Saidah masih segar dalam ingatannya. Dia
khawatir kalau tidak segera menunjuk pengganti dan ajalnya segera datang, akan
timbul pertentangan di kalangan umat Islam yang lebih hebat daripada ketika
Nabi wafat dahulu. Bagi Abu Bakar, orang yang paling tepat menggantikannya
tidak lain adalah Umar bin Khaththab. Dia mulai mengadakan permusyawarahan
tertutup dengan beberapa sahabat senior yang kebetulan menengoknya di rumah. Di
antara mereka adalah Abd Ar-Rahman bin Auf dan Utsman bin Affan dari kelompok
Muhajirin, serta Asid bin Khudair dari kelompok Anshar. Pada dasarnya, semua
mendukung maksud Abu Bakar, meskipun ada beberapa di antaranya yang
menyampaikan catatan. Abd Ar-Rahman misalnya, mengingatkan akan sifat
"keras* Umar. Peringatan itu dijawab oleh Abu Bakar bahwa Umar yang
bersikap keras selama ini karena melihat sifat Abu Bakar yang biasanya lunak,
dan kelak kalau Umar sudah memimpin sendiri, dia akan berubah menjadi lebih
lunak. Suatu hal yang cukup menarik ialah seusai bermusyawarah dengan Abd
Ar-Rahman bin Auf dan Utsman bin Affan, Abu Bakar berpesan kepada mereka berdua
agar tidak menceritakan pembicaraan itu kepada orang lain.
Abu
Bakar memanggil Utsman bin Affan, lalu mendiktekan pesannya. Baru saja setengah
dari pesan itu didiktekan, tiba-tiba Abu Bakar jatuh pingsan, tetapi Utsman terus
saja menuliskannya. Ketika Abu Bakar sadar kembali, dia meminta kepada Utsman
supaya membacakan apa yang telah dia tuliskan. Utsman membacanya, yang pada
pokoknya menyatakan bahwa Abu Bakar telah menunjuk Umar bin Khaththab supaya
menjadi penggantinya (sepeninggal dia nanti). Seusai dibacakan pesan yang
sebagian ditulis oleh Utsman sendiri itu, Abu Bakar bertakbir tanda puas dan
berterima kasih kepada Utsman. Abu Bakar menyatakan pula, bahwa tampaknya
Utsman juga ikut gusar terhadap kemungkinan perpecahan umat kalau pesan itu
tidak diselesaikan.[37]
Sesuai
dengan pesan tertulis tersebut, sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khaththab
dikukuhkan sebagai khalifah kedua dalam suatu baiat umum dan terbuka di Masjid
Nabawi.
Utsman
bin Affan menjadi Kholifah yang ketiga melalui proses yang berbeda, tidak sama
dengan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Dia dipilih oleh kelompok oleh orang
yang nama-namanya sudah ditentukan oleh Umar Bin Khaththab sebelum beliau
Wafat. Enam sahabat yang berperan sebagai Formatur diantaranya yaitu :
Abdurrohman bin Auf, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqosh, Tholhah bin
Ubaidillah, Ali bin Abi Tholib dan Utsman bin Affan.
Strategi
yang digunakan oleh beliau Utsman bin Affan diantaranya; Perluasan Wilayah,
Kondifikasi Al Qur’an,, Otonomi Daerah, Membentuk angkatan Laut dan Merehab
Masjid Nabawi di Madinah.
Pemerintahan
Ustman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya
muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya,
kekecewaan ini disebabkan oleh kebijaksanaan Ustman mengangkat keluarga dalam
kedudukan tinggi. Diantaranya adalah
Marwan Ibnu Hakam, dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan,
sedangkan Ustman hanya menyandang gelar Kholifah. Ustman memang sangat berbeda
dengan kepemimpinan Umar, mungkin karena usianya yang lanjut(diangkat usia 70
tahun) dan sifatnya yang lemah lembut sehingga mudah diperdaya keluarga dan
kerabatnya. Tahun 35 H /655 M Ustman dibunuh kaum pemberontak yang terdiri dari
orang-orang yang kecewa.
Setelah
peristiwa kematian Ustman Bin Affan, terjadi kefakuman kholifah selama 3 hari.
Seluruh kota Madinah lumpuh akibat kekacauan yang dibuat para pengacau, bahkan
jenazah Ustman terlantar selama 3 hari. Ali bin Abi Tholib seorang pribadi yang
agung, lemah lembut, namun memiliki kecerdasan yang tinggi. Karena
kepribadiannya yang agung inilah banyak kaum munafik yang tidak menyukai kalau
Ali menjadi kholifah, khawatir pola kepemimpinan Ali sama ketika pemerintah
Islam dikendalikan Umar bin Khottob. Mereka takut kesenangan dan kenikmatan
yang mereka rasakan yang didapat dengan
cara bathil pada masa Ustman tidak ada lagi andaikata Ali Bin Abi Tholib
menjadi Kholifah.
Sejak
Islam lahir sampai masa Utsman merupakan satu kesatuan politik dan wilayah yang
jelas di bawah seorang kepala negara, atau Khalifah yang sekaligus sebagai
imam. Tetapi dengan peristiwa Tahkim yang demikian berarti dunia Islam telah
terpecah menjadi dua wilayah dan kekhalifahan: Imam Ali di Timur Semenanjung
Arab, Irak dan Persia dan Mu’awiyah di bagian barat meliputi Syam dan Mesir.
Sudah tentu ini membawa terpecahnya umat Islam yang berakhibat jauh dalam
sejarah. Karena Akidah Islam yang begitu kuat, perpecahan politik ini tidak
sampai berpengaruh pada kesatuan akidah.[38]
Golongan
yang anti dengan pengangkatan Ali Bin Abi Tolib sebagai kholifah sangat
kecil(keluarga Umaiyyah), sedangkan masyarakat Islam secara umum menanti
pengangkatan Ali sebagi Kholifah. Ali
diharapkan dapat menjadi tumpuan harapan
bagi masyarakat Islam yang hidupnya menderita. Karena desakan dari arus bawah
yang begitu kuat agar Ali bin abi Tholib
segera diangkat menjadi kholifah, maka para sahabat dan umat Islam membaiat Ali
sebagai kholifah keempat pengganti Utsman bin Affan yang telah meninggal dunia.
Semula beliau menolak tetapi karena demi kepentingan Islam, akhirnya menerima
pengangkatan itu.
Ada
beberapa Strategi yang digunakan oleh Beliau Syayidina Ali bin Abi Tolib yaitu;
Mengganti para Gubernur, menarik tanah milik negara dan perbaikan ilmu Bahasa.
Semua gubernur yang diangkat Kholifah Ustman diganti oleh Kholifah Ali dengan
alasan para gubernur inilah yang menyebabkan banyak pemberontakan di masa
kekholifahan Ustman bin Affan. Gubernur-gubernur yang diganti yaitu Gubernur
syiria diganti Sahl Bin Hanif, Gubernur Basrah diganti Usman bin Hanif,
Gubernur Mesir diganti Qais Bin Sa’ad, Gubernur Kufah diganti Umrah bin Syihab,
dan Gubernur Yaman diganti Ubaidah bin Abbas.
Tidak
lama kemudian munjul perang Jamal yang mana Pemberontakan yang di lakukan oleh
Zubair, Tholhah dan Aisyah, mereka menuntut bela terhadap pembunuhan Ustman bin
Affan dan menganggap Ali tidak mau menghukum para pembunuh Ustman. Kholifah ali
sebetulnya tidak menghendaki pertumpahan darah, tetapi konflik memuncak yang
menyebabkan tholhah dan Zubair terbunuh dan aisyah dipulangkan ke Madinah.
Kebijakan
Ali mengakibatkan perlawanan dari gubernur
di Damaskus, Muawiyah. Di dukung
pejabat-pejabat yang dirugikan dengan kebijakan Ali. Setelah meredakan perang
Jamal,Ali memadamkan pemberontakan di Damaskus. Pasukan Ali dan Muawiyyah
bertemu di Shiffin. Peperangan diakhiri dengan Tahkim, yang menyebabkan
munculnya golongan Khowarij yang tidak setuju dengan pilihan Tahkim Ali.
Munculnya gol khowarij melemahkan posisi Ali, sementara itu Muawiyah gigih
menggalang kekuatan.
Pada
tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M) Ali terbunuh oleh salah seorang anggota
khowarij Kedudukan Ali digantikan oleh Hasan selama beberapa bulan. Karena
Hasan lemah, dan Muawiyyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai
yang dapat mempersatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan politik. Perjanjian
ini menyebabkan Muawiyyah menjadi penguasa absolut dalam Islam.
Peristiwa
di Karbela juga terjadi yang berawal dari pengkhianatan Muawiyah atas
perjanjian Damai dengan Hasan Bin Ali, dengan mewajibkan seluruh rakyat untuk
menyatakan setia terhadap Yazid bin Muawiyyah. Perlawanan dilakukan oleh
Husein, abdullah bin Zubair yang berkonsolidasi dengan Syiah. Husein atas
permintaan kaum syiah pindah dari Madinah ke Kufah, dan di baiat sebagai
Kholifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di karbela, Husein terbunuh,
kepalanya di penggal dan di bawa ke Damaskus, sedang badannya dimakamkan di
Karbela.
Ada
beberapa Faktor-Faktor yang menyebabkan ekspansi islam berkembang pesat
yaitu; Pertama Suku-suku arab gemar
berperang, semangat dakwah dan kegemaran berperang membentuk satu kesatuan yang
merupakan potensi kekuatan pertahanan Islam Terwujud dalam Jihad. Kedua
Byzantium dan persia, dua kekuatan yang menguasai timur tengah mengalami
kemunduran akibat sering terjadi
peperangan antara keduanya dan persoalan intern. Ketiga Pertentangan aliran
agama di wilayah Byzantium mengakibatkan pemaksaan agama kepada rakyat, dan
pajak yang tinggi untuk biaya perang membuat rakyat tidak menyukai penguasa
Eropa. Empat Islam datang ke daerah2 yang dimasuki dengan simpatik dan toleran.
Lima Mesir, Syiria, Irak adalah daerah yang kaya. Kekayaan ini membantu
penguasa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.
D.
Ikhtitam
Peradapan Islam pada
masa Rosululloh dan Khulafaur Rosyidin merupakan sejarah yang indah dalam
Peradapan Islam saya bisa saya simpulkan sebagai berikut :
1.
Tokoh di dalamnya yang sangat berkopenten
adalah beliau Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam dan Para Khulafaur
Rosyidin.
2.
Dalam Masa Rosululloh Sholallohu ‘laihi Wa
Sallam ada dua Periode diantaranta Periode Makkah dan Periode Madinah, yang
mana periode Madinah merupakah langkah awal dalam peletakan Negara Islam dengan
adanya bukti yakni Baiat Aqobah I dan II dan juga Piagam Madinah.
3.
Negera pada umumnya dan khususnya negara
Islam terbentuk adanya tiga pilar yang tidak terpisah yakni; Wilayah, Penduduk
atau Rakyat dan pemerintahan yang berdaulat.
4.
Rosululloh tidak hanya mengatasi soal dunia
tapi juga soal Akhirat.
5.
Negara Islam pada waktu Rosululloh sudah
berdiri dari beberapa Propinsi atau daerah yang sudah diatur oleh wakil
Roululloh.
6.
Sistem yang digunakan Oleh Rosululloh SAW.
dalam memecahkan atau menentukan suatu kebijakan atau stategi dalam peperangan
yakni dengan menggunakan Sitem Musyawarah.
7.
Politik nabi dengan Misi dan Visi Islam secara sirri dan
terang-terangan.dan ketika diberikan penyiaran tentang Islam menentang makan
diantara jalan yang dilakukan adalah dengan berperang.
8.
Sistem pemerintaan Rosulullaoh mencapai
Soal Dunia dan Akhirat dan didalamnya tidak terdapat Sitem kerajaan atau pun
semacamnya.yang dimana Beliau sebagai Utusan untuk ummat manusia Jami’al
Alamin.
9.
Khulafaur Rosyidin merupakan generasi
penerus setelah Rosululloh, adapun sistemnya tidak jauh berbeda diantanya sitem
Musyawrah dari para Shohabat empat tersebut yang berbeda satu dengan yang
lainnya dan juga mempunyai perbedaan yang sangat membedakan. diantara
shohabat. Abu Bakar, Umar bin Khottob,
dalam Hadist Syarif Bahwa “Alloh telah
menempatkan kebenaran dilidah dan di hati Umar”, Shohabat Ustman Terkenal bahwa
“ beliau merupakan Ummat yang benar-benar pemalu adalah Ustman” Ali bin Abi
Tholib
Selanjutnya penulis
sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca untuk mendermakan secuil
kritiknya bagi tulisan ini dalam rangka tawāshau bil haq. Sekian, mohon maaf dan semoga bermanfaat,
amin. Wassalam.
[1] Muhammad Syafii Antonio. Muhammad The Super Leader Super Manager,
Telaan Sukses dalam Hidup & Bisnis, (Tazkia. Set. XVI 2009) hlm.153
[2] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin Dan Pemikiran
Politik Islam (Erlangga . 2008, hlm 26).
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari BerbagaiAspeknya, Jilid I,
Ul-Press Jakarta, 1986, hlm.92
[4] Sebagai dikutip oleh Muhammad Dhiya' al-Din al-Rayis, al-Nazhariyat
i al-Siyasat al-Islamiyat, Maktabat_al-Anjlu, Mishr, 1957, hlm.. 15.
[5] 'Thomas W. Arnold, The Caliphate, Routledge and Kegan Paul'LTD., |
London, 1965, hlm.. 30.
[6]Fazlur Rahman, "The Islamic
Concept of State": dalam John J. Donohue 1 and L. Esposito (eds.), Islam
in Transition: Muslim Perspective, Oxford University Press, New York, 1982, hlm..
261.
[7] Ibn Ishaq, Sfrat Rasul Allah, tcrjemahan Inggris oleh A. Guillaume,
The Life of Muhammad, Oxford University Press, Karachi, 1970, hlm.. 198 - 204, Hasan
Ibrahlm. Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid I, Al-Maktabat al-Nahdhat
al-Mishriyat, al-Qahirat, 1979, hlm.. 95-97.
[8]Munawir Sjadzali, hlm.. 9.
[9] Q.S. al-Baqarah/2:218, dan al-Nahl/16:41,110
[10] Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah Ajran, Sejarah dan Pemikiran (
RajaGrapindo Persada, Jakarta. Cet. V. 2002) hlm. 81.
[11] Naskah perjanjian tersebut di muat
dalam Ibn Hisyam, hlm.
301 -303,
Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, Dar
al-Fikr, Bairut, 1988, hlm.. 260-264, Muhammad
Husein Haikal, llayat Muhammad (Sejarah
Hidup Muhammad) terjemahan Ali Audah, hlm.. 200-202, Ibn
Ishaq, Sirat RasUl Allah, terjemahan
Inggris A. Guillaume, hlm.. 231-233, Ibn Kateir,At-Biddyat wa
al-Nihayat, Jilid III,
hlm.. 244-246. Teks Piagam Madinah tersebut telah dilerjemahkan kc dalam
berbagai bahasa penting di dunia, yaitu bahasa-bahasa Urdu, Turki, Perancis,
Inggris, Jerman, Itali, Belanda dan Indonesia.
[12] Nurcholish Madjid, "Cita-cita Politik Kiu" dalam Bosco Carvallo dan
Dasrizal (penyunting),
Aspirasi Umat Islam Indonesia, LEPPENAS, Jakarta, 1983. hlm.. 11.
[15] Muhammad Marmadukc Pickthal, The Meaning of
Glorious Koran, New American Library, New York,
1953, hlm.. xvii.
[16] Miriam Budiardjo,
hlm. 42-44, Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu
Negara dan Politik, PT Ercsco,
Bandung-Jakarta, 1981, hlm.. 13.
[19] Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abd al-Mu'thi Muhammad, Al-Fikr al-Siyasifi
al-Islam, Dar al-Jami'at al-Mishriyat, Iskandariyat,
1978, hlm.. 72-73.
[20] Ibn Ishaq, Sirat Rasul Allah,
hlm.. 293-294. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsiral-Manar,
Jilid IV, hlm.. 200, dan Al-Thabari, Tarlkh al-Umam wa al-Muluk,
Jilid HI, Dar al-Fikr, Bairut, 1987, hlm.. 31 dan 43.
[21] Ibnu Ishaq , hlm. 339, dan Al-Thabari, hlm. 79.
[22] Ibnu Ishaq hlm. 371-372.
[23] Ibn Atsir, Al-Kamil ft al-Tarikh, Jilid II, Dar Bairut, Bairut,
1965, him.178-179
[25] Hal itu mengingatkan kita pada
peristiwa penghapusan kalimat "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam
bagi pemeluknya" yang berjumlah tujuh kata dari "Piagam
Jakarta".
[26] A1-Bukhan. Shahih al-Bukhar'i, Jilid U, Juz 4, hlm. 54-57.
[27] Muhammad A. al-Buraey, Islam Landasan Alternatif Administrasi
Pembangunan, Rajawali, Jakarta, 1986, him. 254-255
[28] Baca Ibn Hisyam, Sirat al-Nabawiyat, Jilid II, him. 54- 56,57,
dan 143.
[29] Said Ramadhan, Islamic Law: Its Scope and Equity, 2nd Edition,
1970
[30] Muhammad Husein Haikal, Hayat Muhammad, hlm. 405
[31] Said Ramadhan, Islamic Law: Its Scope and Equity, 2nd Edition,
1970,
[32]
Ali Abdal-Raziq,Al Islam wa Ushul Al
Hikim, al-Qahirat, 1925, hlm 64-69.
[33] Suyuthi Pulungan, M.A. . Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Rajawali
Perss. Cet. Kelima 2002 Jakarta. hlm. 102.
[34] Muhammad Syafii Antonio. Muhammad The Super Leader Super Manager,
Telaan Sukses dalam Hidup & Bisnis, (Tazkia. Set. XVI 2009) hlm.188.
[37] Beni Ahmad Sebani. Fiqih Siyasah Pengatra Ilmu Politik Islam.
Bustaka Setia Bandung Cet I. 2008. hlm. 216.
[38] Ali Audah. Ali bin Abi Talib sampai kepada Hasan da Husain,
Litera AntarNusa, Jakarta Cet. VII 2010. . hlm. 267
Merkur Futur Safety Razor | Merkur Futur, Classic
Merkur Futur 메리트카지노 Safety Razor - The Merkur Futur is a classic double-edge razor. This razor features a closed comb design with 온카지노 a knurled handle for 제왕카지노 improved blade