Praktek Pemerintahan Islam


Praktek Pemerintahan Islam
Yang Berkembang Dalam Sejarah Islam

Sekolah Tinggi Agama Islam Attahdzib Jombang Jatim 
Ditulis oleh Muhammad Abdul Rosid  Kamis, 19 April 2012 10:30

A.  Iftitah
Politik biasa diartikan sebagai seni dalam mengatur dan memerintah masyarakat. Agak sulit memisahkan Muhammad SAW. dari kepemimpinan politik. Di samping sebagai seorang Rosul, beliau adalah Kepala Kepemimpinan Politik Muslim pertama dengan Madinah sebagai Pusat Pemerintahan. Muhammad SAW. merupakan seorang pemimpin politik karena mempunyai kapasitas dalam mengatur dan mengelola masyarakat Muslim yang dipusatkan di Madinah.
Para sejarawan membagi periode awal Islam menjadi periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Makkah merupakan periode peletakan dasar-dasar agama tauhid dan pembentukan akhlak yang mulia. Periode Madinah menandai kemunculan Islam sebagai sebuah kekuatan sosial dan politik. Muhammad SAW. tidak lagi hanya tampil sebagai sebuah komunitas peradapan berpusat di Madinah. Dengan demikian, pembentukan sebuah masyarakat Islam telah dimulai. Sejak itu, wahyu yang turun tidak lagi terbatas pada seputar keesaan Tuhan, tetapi mulai mencakup ajaran lainnya yang berhubungan dengan peraturan kehidupan masyarakat.[1]
Pemikir Politk Islam berkembang secara Luas tak lain karena berbagai peristiwa penting sejak Rosulullah Hijrah ke Madinah, berbagai hubungan sosial dijabarkan oleh Rosulullah, yang menyangkut kehidupan internal umat Islam dan hubungan dengan kelompok agama dan suku lain dalam membangun Madinah. Praktek kehidupan Rosulullah bersama para Sahabatnya di Madinah telah membuka jalan baru bagi umat Islam untuk mengambil substansi ajaran sosial dan politik. Piagam Madinah merupakan kontrak Rosulullah bersama komunitas Madinah, yang berbeda-beda suku dan agama untuk membangun Madinah dalam pluralitas. Tidak lain, Piagam Madinah menjadi konstitusi pertama yang secara brilian mampu menempatkan suku dan agama dinaungi dalam perjanjian bersama[2].
B.  Pemerintahan Dimasa Nabi
Sekitar tahun 610 M., Kota Mekkah yang terletak tidak jauh dari pusat pesisir Barat Semenanjung Arabia, telah memiliki populasi sekitar 500 orang, dan seperlima diantaranya mampu berperang dimedan pertempuran. Makah merupakan sentral perdagangan yang makmur, dan juga sebagai urat nadi Rute perdagaan antara Samudra Hindia dengan laut Tengah. Kota ini Asalnya adalah Kota Yatsrib, kemudian berganti nama menjadi Madinat al-Nabi, dan populer dengan sebutan Madinah. Negara dan pemerintahan yang pertama dalam sejarah Islam itu terkenal dengan Negara Madinah.
Kajian terhadap Negara dan Pemerintahan ini dapat diamati de­ngan menggunakan dua pendekatan. Pertama, pendekatan norma-tif Islam yang menekankan pada pelacakan nash-nash al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang mengisyaratkan adanya praktek pemerin­tahan yang dilakukan oleh Nabi dalam rangka siyasah syar'iyah. Kedua, pendekatan deskriptif-historis dengan mengidentikkan tugas-tugas yang dilakukan oleh Nabi di bidang muamalah sebagai tugas-tugas negara dan pemerintahan. Hal ini diukur dari sudut pandang teori-teori politik dan ketatanegaraan.
Terbentuknya Negara Madinah, akibat dari perkembangan Penganut Islam yang menjelma menjadi kelompok sosial dan memiliki kekuatan politik riil pada pasca periode Mekkah di bawah pimpinan Nabi. Pada periode Mekkah pengikut beliau yang jumlahnya relatif kecil belum menjadi suatu komunitas yang mempunyai daerah kekuasaan dan berdaulat.  Mereka merupakan golongan minoritas yang lemah dan tertindas, sehingga tidak mampu tampil menjadi kelompok sosial penekan terhadap kelopok sosial mayoritas kota itu yang berada di bawah kekuasaan aristokrat Quraisy, yang masyarakatnya homogen. Tapi setelah Madinah, posisi Nabi dan umatnya mengalami perubahan besar. Di kota itu, mereka mempunyai kedudukan yang baik dan merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang baru dibentuk itu dan yang akhirnya merupakan suatu negara. Suatu negara yang daerah kekuasaannya di akhir zaman nabi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Dengan kata lain di Madinah Nabi Muhammad bukan lagi hanya mempunyai sifat Rasul, tetapi juga mempunyai sifat Kepala Negara.[3] D.B. Macdonald juga menyatakan "di sini, Madinah! telah terbentuk negara Islam pertama dan telah meletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undangan Islam”.[4] Dalam Negara Madinah itu, kata Thomas W. Arnold, "dalam waktu yang bersamaan Nabi adalah sebagai Pemimpin Agama dan Kepala Negara”.[5] Fazlur Rahman, tokoh Neo-Modernisme Islam, juga membenarkan bahwa masyarakat Madinah yang diorganisir Nabi itu merupakan suatu negara dan pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu umat Muslim.[6]
Perubahan besar yang dialami oleh Nabi dan pengikutnya dari kelompok powerless (tanpa kekuasaan) menjadi suatu komunitas yang memiliki kekuatan sosial politik ditandai dengan beberapa peristiwa penting. Pada tahun 621 dan 622 M Nabi berturut-turut memperoleh dukungan moral dan dukungan politik dari sekelompok orang Arab (suku Aus dan suku Khazraj) kota Yatsrib yang menyatakan diri masuk Islam. Peristiwa ini mempunyai keistimewaan tidak seperti halnya orang Arab Mekkah masuk Islam. Karena disamping mereka menerima Islam sebagai agama mereka, juga mereka membaiat Nabi. Dalam baiat di tahun 621 M, dikenal dengan Baiat Aqabah Pertama, mereka berikrar bahwa mereka tidak akan menyembah selain Allah, akan meninggalkan segala perbuatan jahat dan akan mentaati Rasulullah dalam segala hal yang benar. Sedangkan pada baiat tahun 622 M, dikenal dengan Baiat Aqabah Kedua, mereka berjanji akan melindungi Nabi sebagaimana melindungi keluarga mereka dan akan menta­ati beliau sebagai pemimpin mereka. Nabi juga dalam kesempatan itu berjanji akan berjuang bersama mereka baik untuk berperang maupun untuk perdamaian.[7]
Fakta itu menunjukkan bahwa antara Nabi dan penduduk Yatsrib itu telah terjadi "fakta persekutuan". Karena kedua pihak mencapai kesepakatan supaya saling menjaga dan melindungi keselamatan bersama. Dalam baiat kedua tergambar pula adanya penyerahan hak kekuasaan diri dari peserta baiat kepada Nabi yang mereka akui sebagai pemimpin mereka. Dalam ilmu politik disebut dengan "kontak sosial". Karena itu peristiwa kedua baiat itu, "dianggap sebagai batu-batu pertama bagi bangunan negara Islam".[8]
Peristiwa baiat itu mendorong Nabi berhijrah ke Yatsrib beberapa bulan kemudian. Peristiwa ini direkam dalam wahyu, dan memuji mereka yang berhijrah.[9] Peristiwa ini oleh Arnold dinilai sebagai "suatu gerakan strategi yang jitu". Suatu gerakan yang menyelamatkan kaum muslim agar terbebas dari tindakan sewenang-wenang kaum Quraisy.
Aktivitas Rosulullah yang sangat penting dan besar setelah menetap di Madinah pada tahun pertama hijjah adalah membangun mesjid di Quba, dan menata kehidupan sosial politik masyarakat kota itu yang bercorak majemuk. Rosulullah menempuh dua cara, Pertama menata interen kehidupan kaum muslimin. Kedua, nabi mempersatukan atara kaum muslimin dan kaum Yahudi bersama sekutu-sekutunya melalui perjanjian tertulis yang terkenal dengan “Piagam Madinah” . Isi dari Piagam Madinah diantaranya[10] :
Dengan Nama Alloh Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Ini adalah surat/ketetapan (perjanjia) dari Nabi Muhammad antara orang-orang beriman dan muslim yang berasal dari Qurasy dan Yatsrib serta yang mengikuti mereka dan menyusul mereka serta berjuang bersama-sama mereka. Mereka adalah umat yang satu di luar golongan lain.
Kaum Muhajirin bebas melaksanakan kebiasaan baik mereka dalam menerima atau membanyar tebusan darah antara sesama mereka dan menebus tawaran mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil antara sesama orang-orang beriman.
Banu Auf juga tetap bebas mengikuti kebiasaan baik mereka yang berlaku, bersama-sama membanyar tebusan darah seperti yang sudah-sudah. Setiap golongan harus menebus tawaran mereka sendiri dengan baik dan adil diantara sesama orang-orang beriman. Demikian juga Banu Harits, Banu Saida, Banu Jusyam, Banu Najar, Banu Amr bin Auf dan Banu Nabit.
Orang-orang beriman tidak boleh membiarkan seseorang yang menanggung beban hidup keluarga dan utang yang berat di antara sesama mereka, mereka harus dibantu dengan cara yang baik dalam membanyar tebusan atau membanyar diat.
Orang bcriman dan bertakwa tidak boleh mengikat janji dalam menghadapi mukmin lainnya, harus melawan orang yang melakukan kejahatan di antara mereka sendiri atau suka melakukan aniaya, kejahatan, permusuhan dan berbuat kerusakan di antara orang-orang beriman sendiri. Mereka semua harus bersama-sama melawannya sekalipun terhadap anak sendiri.
Bahwa orang-orang beriman tidak boleh saling membunuh lantaran orang kafir untuk melawan orang beriman. Jaminan Allah itu satu. Dia melindungi yang lemah di antara mereka.
Orang beriman harus saling tolong menolong satu sama lain. Barangsiapa dari kalangan Yahudi yang menjadi pengikut kami, ia berhak mendapat pertolongan dan persamaan, dan tidak boleh menganiaya atau melawan mereka.
Persetujuan orang-orang beriman satu. Tidak dibenarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian sendiri dengan meninggalkan mukmin lainnya dalam keadaan perang di jalan Allah, tapi semuanya harus mengambil bagian yang sama secara adil. Setiap orang yang berperang bersama kami satu sama lain harus saling melindungi. Mereka harus saling membela terhadap sesamanya yang telah tewas di jalan Allah, dan mereka yang beriman dan bertakwa hendaklah berada dalam pimpinan yang baik dan lurus.
Sesungguhnya siapa pun tidak boleh melindungi harta benda dan jiwa orang Quraisy dan tidak boleh merintangi orang beriman. Barangsiapa membunuh orang beriman yang tidak bersalah dengan cukup bukti, maka harus mendapat balasan setimpal, kecuali keluarga si terbunuh sukarela menerima tebusan. Dan semua orang beriman harus menentangnya dan tidak dibenarkan mereka hanya tinggal diam.
Bahwa setiap mukmin yang menyetujui isi shahifat ini dan beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak dibenarkan meno­long pelaku kejahatan dan tidak pula membelanya, siapa yang menolong atau membelanya maka sesungguhnya ia akan mendapat kutukan dan murka Allah di hari Kiamat dan tidak ada suatu tebusan yang dapat diterima daripadanya. Bahwa bila terjadi perbedaan pendapat di antara kamu tentang sesuatu maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah dan Muhammad SAW.
Bahwa orang-orang Yahudi harus mengeluarkan belanja bersama orang-orang mukmin selama mereka dalam peperangan.
Bahwa orang-orang Yahudi Bani Auf adalah umat yang satu bersama orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi tetap berpegang pada agama mereka, dan orang-orang mukmin pun tetap berpegang pada agama mereka termasuk pendu-kung-pendukung mereka dan diri mereka sendiri kecuali orang yang berlaku zalim dan dosa, bahwa orang seperti ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri dan keluarganya. Demikian pula orang-orang Yahudi Bani al-Najjar, Bani al-Harits, Bani Saidah, Bani Jusyam, Bani Aus, Bani Tsa'labah dan keluarganya Jafhah, Bani Syutaibah, pemuka-pemuka Tsa'labah, dan sekutu kaum Yahudi diperlakukan sama se­perti Bani Auf.
Bahwa tidak seorang pun dari mereka (penduduk Madinah) dibolehkan keluar kecuali dengan izin Nabi Muhammad SAW. Tapi seseorang tidak boleh dihalangi menuntut haknya (balas) karena dilukai, dan bahwa siapa yang melakukan kejahatan berarti ia melakukan kejahatan terhadap dirinya dan keluarganya, kecuali bila orang itu melakukan aniaya. Sesungguhnya Allah memperhatikan ketentuan yang paling baik dalam hal ini.
Bahwa orang-orang Yahudi harus menanggung belanja mereka sendiri, dan orang-orang mukmin harus menanggung belanja mereka sendiri. Tapi di antara mereka harus ada kerjasama tolong-menolong dalam menghadapi orang yang menyerang terhadap pemilik shahifat ini, dan bahwa di antara mereka hendaklah saling nasehat-menasehati dan berbuat kebaikan tanpa dosa. Bahwa seseorang tidak bertanggung jawab atau ikut memikul kesalahan orang lain, tapi ia harus menolong orang teraniaya.
Bahwa orang-orang Yahudi wajib menanggung biaya bersa-ma orang-orang mukmin selama mereka dalam keadaan pe-rang. Bahwa Yatsrib menjadi tempat suci bagi yang menga-kui perjanjian ini.
Bahwa tetangga itu seperti diri sendiri, tidak boleh dimudarati dan diperlakukan jahat. Bahwa suatu kehormatan tidak boleh dilindungi kecuali atas izin pemihknya.
Bahwa bila antara orang-orang yang menyetujui perjanjian ini terjadi suatu peristiwa atau perselisihan yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, maka hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Muhammad Rasulullah SAW. Sesungguh-nya Allah memperhatikan isi perjanjian ini dan melindungi-nya.
Bahwa tidak boleh diberikan perlindungan kepada kaum Quraisy dan orang yang menolongnya.
Bahwa antara mereka harus sating membantu melawan orang yang mau menyerang Yatsrib. Apabila mereka (penyerang) diajak berdamai, lalu mereka memenilhi ajakan damai itu dan melaksanakannya, maka sesungguhnya mereka telah berda­mai dan melaksanakannya (perdamaian itu dianggap sah), dan bahwa bila mereka (orang-orang mukmin) diajak berda­mai seperti itu maka orang-orang mukmin wajib menerima-nya kecuali terhadap orang yang memerangi agama. Setiap orang berkewajiban melaksanakan kewajiban sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
Sesungguhnya Yahudi Aus, sekutu-sekutu mereka dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti apa yang terda-pat bagi pemilik shahifat ini serta memperoleh perlakuan yang baik dari yang menyetujui perjanjian ini.
Sesungguhnya kebaikan itu tidak boleh dicampur aduk de­ngan kejahatan dan orang yang melakukannya akan memikul sendiri akibatnya. Dan bahwa Allah bersama pihak yang benar dan patuh menjalankan isi perjanjian ini. Hanya orang aniaya dan jahat yang berani melanggar perjanjian ini.
Barangsiapa yang keluar atau tinggal dalam kota Madinah ini, ia akan aman, keselamatannya tcrjamin, kecuali orang yang berbuat aniaya dan melakukan kejahatan. Sesungguh­nya Allah melindungi orang yang berbuat kebajikan dan bertakwa, dan Muhammad Rasulullah SAW.[11]
Setelah diteliti dan dikaji secara mendalam, naskah perjanjian tersebut mengandung beberapa prinsip, yaitu: prinsip orang-orang muslim dan mukmin adalah umat yang satu dan antara mereka dan non-muslim adalah juga umat yang satu (semua manusia adalah umat yang satu); prinsip persatuan dan persaudaraan; prinsip persamaan; prinsip kebebasan; prinsip tolong-menolong dan membela yang teraniaya; prinsip hidup bertetangga; prinsip keadilan; prinsip musyawarah; prinsip pelaksanaan hukum dan sanksi hukum; prinsip kebebasan beragama dan hubungan antar pemeluk agama (hubungan antar bangsa/interna-sional); prinsip pertahanan dan perdamaian; prinsip amar makruf dan nahi munkar, prinsip kepemimpinan; prinsip tanggung jawab pribadi dan kelompok; dan, prinsip ketakwaan dan ketaatan (disiplin).
Prinsip-prinsip tersebut sangat modern untuk masa itu. Bahkan untuk dewasa ini pun tetap relevan karena nilai-nilainya yang universal. Sebab prinsip-prinsip tersebut telah menjadi tuntutan berbagai bangsa di dunia agar tegak dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, yaitu tatanan masyarakat yang demokratis, adil dan damai. Karena pada hakikatnya implementasi prinsip-prinsip tersebut merupakan penghargaan terhadap hak-hak asasi manu­sia, dan akan menumbuhkan demokratisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Maka amatlah tepat komentar Nur Cholish Madjid berikut ini:
Bunyi naskah Konstitusi itu sangat menarik. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam Konstitusi itulah untuk pertama kali-nya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinan-nya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan, dan lain-lain. Tetapi juga ditegaskan adanya suatu kewajiban umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar."[12]
Sedangkan mengapa naskah perjanjian tersebut bisa terwujud, menurut Hitti,[13] merupakan bukti kemampuan Beliau Nabi Muhammad SAW melakukan negosiasi dan konsolidasi dengan berbagai kabilah dan kelompok sosial Madinah, sehingga beliau diakui oleh mereka sebagai pemimpin mereka. Penilaian ini didasarkan pada keberhasilan beliau mempersatukan kaum muslimin yang berasal dari berbagai kabilah menjadi satu umat. Beliau juga mempersatukan kaum muslimin dan kaum Yahudi menjadi satu umat dan menetapkan persamaan hak dan kewajiban mereka dalam masalah-masalah umum, sosial, dan politik.
Dengan demikian, bukti-bukti historis dan karya nyata Nabi tersebut, menunjukkan bahwa beliau secara nyata dan arif menata hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan antara sesama manusia. Al-Qur'an menyebutnya hablun min Allah wa hablun min al-nas (Q.S. Ali'Imran/3:112). Tujuan Nabi mengatur hablun min al-nas masyarakat Madinah adalah untuk menetralisir kekuasaan kelompok-kelompok sosial yang ada yang sering terjerumus kepada konflik, dan untuk membimbing mereka agar hidup dalam suasana kerjasama. Pada segi ini, dilihat dari ilmu politik, langkah Nabi ini menunjukkan beliau telah melaksanakan kekuasaan seperti yang dimiliki oleh negara yaitu kekuasaan politik. Kekuasaan politik yang dikuasai oleh negara bertujuan untuk mengatar hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat, mengontrol dan menertibkan unsur-unsur atau gejala-gejala kekua­saan dalam masyarakat. Karena manusia disamping hidup dalam suasana kerjasama antagonistis, penuh konflik dan persaingan. Pengaturan hubungan-hubungan tersebut, walaupun ada unsur pemaksaan, adalah untuk menetapkan tujuan-tujuan kehidupan bersama.[14]
Oleh karena itu, Pickthal menilai kelahiran dan fungsi naskah perjanjian itu, menjadi bukti bahwa Nabi menampilkan diri seba­gai sosok pemimpin untuk menetapkan dan mengatur kepentingan umum sebagai undang-undang negara (the constitution of the state).[15] Dan lahirnya piagam tersebut sebagai pernyataan terben-tuknya Negara Madinah. Sekalipun Nabi tidak pernah mengatakan bahwa beliau mendirikan negara, dan tak satu pun ayat al-Qur'an yang memerintahkan beliau agar mendirikan negara. Tapi karena ajaran Islam memadukan antara urusan agama dan dunia, diperlukan adanya lembaga dan pemimpin untuk melaksanakan­nya, dan Nabi telah mempraktekkannya. Pendapat penulis, bahwa Agama dan Negara itu sama, ada juga bahwa Agama atau Negara itu berbeda sedangkan Agama dan Negara itu berjalan keduanya.
Dikatakan bahwa masyarakat yang dipimpin Nabi itu adalah negara, karena dari sudut ilmu politik, memenuhi syarat untuk disebut sebagai negara. Syarat berdirinya negara adalah adanya wilayah, penduduk dan pemerintahan yang berdaulat.[16] Semua unsur ini terdapat dalam negara Islam pertama itu. Wilayahnya adalah kota Madinah dan sekitarnya, rakyatnya terdiri dari unsur-unsur kaum Muhajirin, kaum Ansar, dan kaum Yahudi serta sekutunya yang menetap di kota Madinah, dan pemerintahan yang berdaulat dipegang oleh Nabi Muhammad dan dibantu oleh para sahabatnya. Undang-undangnya berdasarkan Syariat Islam yang diwahyukan oleh Allah dan Sunnah Rasul termasuk Piagam Madinah. Kepemimpinan Nabi selaku kepala negara adalah untuk mengatur segala persoalan dan memikirkan kemaslahatan umat secara keseluruhan, dalam rangka pelaksanaan siyasah syar'iyah.
Kapasitas Beliau Muhammad SAW sebagai Pemimpin Ummat Manusia dapat dibuktikan dengan tugas-tugas yang beliau lakukan sebagaimana termuat dalam berbagai literatur. Beliau membuat undang-undang dalam bentuk tertulis, mempersatukan penduduk Madinah yang bercorak heterogen untuk mencegah timbulnya konflik-konflik di antara mereka agar terjamin ketertiban interen. Beliau mengadakan perjanjian damai dengan tetangga agar terjamin  ketertiban eksteren, menjamin kebebasan bagi semua golongan, mengorganisir militer dan memimpin peperangan, melaksanakan hukum bagi pelanggar hukum dan perjanjian, menerima perutusan-perutusan dari berbagai suku Arab di Jazirah Arab, mengirim surat-surat dan delegasi kepada para penguasa di Jazirah Arab, mengelola zakat dan pajak serta larangan riba di bidang ekonomi untuk menjembatani jurang pemisah antara golongan kaya dan miskin, menjadi hakam (arbiter) dalam menyelesaikan perbedaan pendapat dan perselisihan, menunjuk para sahabat untuk menjadi wali dan hakim di daerah-dacrah dan menunjuk wakil beliau di Madinah bila beliau bertugas keluar, melaksanakan musyawarah dan sebagainya. Di dalam ilmu politik dan tatanegara juga disebutkan bahwa tugas-tugas pemerintah untuk mencapai tujuan negara adalah melaksanakan penertiban dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, mewujudkan pertahanan dan menegak-kan keadilan.[17] Dalam sumber lain menyebutkan bahwa tugas-tugas kepala negara atau pemerintah dengan aparaturnya adalah mengurus negara dan memimpin seluruh rakyat dalam berbagai aspek kehidupan, mempertahankan kemerdekaan, melaksanakan keamanan dan ketertiban umum agar terhindar dari gangguan dan serangan dari luar maupun dari dalam, mengembangkan segala sumber bagi kepentingan hidup bangsa dalam bidang-bidang sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan.[18]
Sosok kepemimpinan Nabi Muhammad dalam kapasitasnya sebagai pemimpin masyarakat, pemimpin politik, pemimpin militer dan sebagai perunding tampak dalam praktek musyawarah yang dilakukannya dalam beberapa contoh berikut. Dalam al-Qur'an ada dua ayat yang menyatakan pujian terhadap orang-orang yang melaksanakan musyawarah sebelum mengambil keputusan, dan perintah melaksanakan musyawarah.  Dan orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka dan mendirikan salat, sedangkan urusan mereka (diselesaikan) dengan musyawarah di antara mereka, (Q.S. al-Syura/42:38) dan Bermusyawarahlah dengan mereka dalam semua urusan, dan apabila sudah mengambil ke­putusan mengenai suatu perkara maka bertawakallah kepada Allah. (Q.S. Ali Imran/3:159) Perintah musyawarah dalam ayat terakhir ini bisa bermakna khusus: "Hai Muhammad bermusya-warah dengan para sahabat sebelum memutuskan setiap masalah kemasyarakatan," dan bermakna umum; "Wahai umat Islam ber­musyawarahlah kamu dalam memecahkan setiap masalah kema­syarakatan”. Kewajiban ini diamanahkan kepada penyelenggara urusan negara dan yang berwenang menangani urusan masyarakat. Dengan petunjuk dua ayat tersebut, Nabi membudayakan musyawarah di kalangan sahabatnya. Dalam bermusyawarah terkadang beliau hanya bermusyawarah dengan sebagian sahabat yang ahli dan cendekia, dan terkadang pula hanya minta pendapat dari salah seorang mereka. Tapi bila masalahnya pcnting dan bcrdampak luas bagi kehidupan sosial masyarakat, beliau mcnyampaikannya dalam pertemuan yang lebih besar yang mcwakili semua golo­ngan.[19]
Perang Badar tahun ke-2 H. I624 M. Perang ini merupakan kontak senjata pertama antara kaum muslimin dan kaum musyrik. Nabi dalam menghadapi perang ini bclum mcncntukan sikap kecuali setelah mengadakan musyawarah lebih dulu untuk mcn-dapat persetujuan kaum Muhajirin dan Ansar. Untuk ilu beliau membicarakankondisi mereka, seperti belanja pcrang yang mere­ka punyai, dan jumlah mereka yang sedikit. Beliau juga minta sikap kaum Ansar sebagai golongan terbesar kaum muslimin dalam menghadapi perang tersebut. Mereka menyatakan siap mengorbankan segala-galanya demi perjuangan Rasul. Setelah mereka sepakat menghadapi kaum Quraisy, Nabi dan pengikutnya berangkat menuju suatu tempat, Badar, terletak antara Mekkah dan Madinah. Ketika menjelang pertempuran, Nabi mcmu-tuskan untuk menempatkan posisi pasukannya di suatu tempat dekat satu mata air di Badar. Mengctahui hal ini Hubab al-Mundzir, seorang Ansar, datang mendekat Nabi dan berkata: "Ya Rasulullah, apakah penentuan posisi ini atas pctunjuk Allah yang karenanya kita tidak boleh maju atau mundur dari tempat itu, ataukah keputusan itu semata-mata pendapat Rasul?" Rasul menjawab bahwa keputusan itu b'ukan atas petunjuk AlJah mela-inkan pendapatnya sendiri. Hubab berkata: "Kalau begitu, tempat ini sungguh tidak tepat ya Rasulullah. Sebaiknya kita maju lebih ke mata air daripada musuh, lalu kita bawa banyak tempat air untuk kita isi dari mata air itu kemudian kita menimbunnya dengan pasir sehingga kita dapat minum, sedangkan musuh ti­dak." Rasul menjawab: "Saya setuju dengan pcndapat ini." Kemudian beliau bersama pasukannya bergerak menuju lokasi yang dimaksudkan oleh Hubab.[20]
Masalah tawanan perang Badar. Pasukan Islam di bawah pimpinan Nabi memenangkan peperangan tersebut, dan berhasil membawa pulang sejumlah tawanan. Nabi sebelum menentukan perlakuan terhadap mereka, lebih dulu bermusyawarah dengan para sahabat. Dalam musyawarah itu muncul dua pendapat yang saling bertentangan. Abu Bakar berpendapat: "Ya Nabi Allah, mereka itu adalah keluarga dan saudara-saudara Nabi, maka saya berpendapat agar engkau mengambil imbalan tebusan tunai dari mereka yang demikian kita dapat mengambil kekuatan dari mereka dan menjadi penolong bagi kita dan mudah-mudahan Allah mem-beri hidayah kepada mereka." Kemudian Rasul bertanya kepada Umar: "Bagaimana pendapatmu wahai Ibn al-Khatthab?" Umar menjawab: "Demi Allah, saya tidak sependapat dengan Abu Bakar, akan tetapi saya berpendapat bahwa kalau engkau memberi kuasa kepadaku seseorang, maka saya akan memotong lehemya, dan engkau beri kuasa kepada Hamzah agar ia memotong leher saudaranya, juga engkau beri kuasa kepada Ah untuk membunuh saudaranya Aqil. Dengan demikian Allah mengetahui bahwa di dalam hati kita tidak bersifat lemah lembut terhadap orang-orang kafir. Sebab mereka itu adalah para pemuka dan pemimpin kaum Quraisy." Nabi dalam mengambil keputusan, kata Umar, tidak mengikuti pendapatnya melainkan mengikuti pendapat Abu B akar. Namun behau memberi kebebasan kepada para sahabat untuk memilih; melepaskan para tawanan dengan tebusan tunai atau membunuhnya. Temyata masyarakat melepaskan para tawanan setelah mereka membayar tebusan tunai yang jumlahnya disesuai-kan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan mereka yang tidak mampu membayar tebusan tapi memiliki kemampuan membaca dan menulis diwajibkan mengajar penduduk Madinah, seorang tawanan untuk sepuluh orang. Besok harinya Umar menemukan Nabi duduk bersama Abu Bakar dan keduanya se-dang menangis. Umar menanyakan apa yang membuat mereka menangis. Nabi menerangkan bahwa beliau menangisi keputusan yang meminta tebusan dari para tawanan, dan seandainya turun azab pada waktu itu maka hanya Umar yang lepas dari azab itu.[21] Karena memang tidak lama setelah pelaksanaan putusan itu kemudian turun wahyu yang mencela tindakan Nabi mengambil tebusan dari para tawanan, yaitu ayat 67 surat al-Anfal.
Perang Uhud tahun ke-3 H/625 M. Nabi juga mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya untuk menentukan strategi dalam menghadapi musuh, yaitu apakah bertahan dalam kota Madinah atau keluar menyongsong musuh dari Mekkah itu. Nabi berpendapat lebih baik bertahan dalam kota. Pendapat ini diso-kong oleh Abdullah bin Ubay, pimpinan kaum munafik Madinah. Tapi karena mayoritas sahabat berpendapat keluar dari kota, maka Nabi mengikuti pendapat mayoritas. Keputusan tersebut ia pegang teguh dan setia sekalipun ketika di tengah perjalanan mereka yang berpendapat mayoritas ingin menarik kembali pen­dapat mereka. Mereka memberikan kebebasan kepada Nabi untuk mengubah keputusan itu sesuai dengan pendapatnya sendiri. Se-mentara Abdullah bin Ubay bersama pengikutnya, sepertjga dari jumlah pasukan, menarik diri dan kembali ke Madinah. Dan ketika seorang Ansar mengusulkan agar mereka meminta bantu an kepada kaum Yahudi, yang ketika itu adalah sekutu orang-orang Islam, sebagai tercantum dalam Piagam Perjanjian, Nabi meno-laknya dengan mengatakan: "Kita tidak membutuhkan mereka."[22] Sedangkan dalam perang Khandaq Nabi tidak mengikuti penda­pat mayoritas. Beliau mengikuti pendapat Salman al-Farisi yang mengusulkan agar kaum muslimin membuat parit di sekitar kota Madinah dan memperkuat pertahanan dalam kota. Pendapat ini ditcntang oleh kaum Ansar dan Muhajirin. Tapi akhirnya mereka mencrima pendapat tersebut setelah Nabi memberi persetujuan-nya.[23]
Perjanjian damai Hudaibiyah tahun ke-7 H. Perjanjian ini terjadi antara Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy Mekkah. Nabi ketika membuat naskah perjanjian yang ditulis oleh Ah bin Abi Thalib tidak menggubris pcndapat sahabatnya, seperti Abu Bakar dan Umar. Beliau sclalu mengikuti kehendak Suhail bin 'Amr, wakil kaum Quraisy. Ketika Nabi memerintahkan Ali menuliskan: "Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," Suhail protes dengan mengatakan ia tidak mengenal kalimat itu dan minta diganti dengan kalimat. "Dengan namaMu ya Tuhan." Nabi mengiyakannya dan minta Ali menulis-nya. Kemudian Nabi memerintahkan Ali untuk menulis: "Ini adalah naskah perjanjian Muhammad Utusan Allah bersama Suhail bin 'Amr." Suhail lagi-lagi tidak setuju dengan alasan jika ia percaya bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, maka ia tidak akan memusuhinya. Karenanya ia minta: "Tuliskan saja namamu dan nama ayahmu." Nabi mcnyetujuinya dan memerintahkan Ali untuk menuliskan:"Ini adalah naskah perjanjian Muhammad bin Abdullah bersama Suhail bin 'Amr." Para sahabat sangat marah melihat Nabi yang mengikuti saja kehendak Suhail. Tapi beliau tidak mempedulikannya.[24] Dengan demikian Rasul bersedia menghapus tujuh kata karena Suhail yang mewakili mayoritas penduduk Mekkah yang masih musyrik tidak dapat menerimanya. Tujuh kata yang dihapus adalah: bismi, Allah, al-rahmdn, al-rahim, Muhammad, Rasul dan Alloh.[25] Demikian juga isi perjan­jian kurang dapat diterima para sahabat karena lebih menguntungkan pihak Quraisy.
Pranata sosial lain dari praktek pemerintahan Nabi adalah membangun hubungan yang harmonis antara warga negara mus-i lim dan non-muslim yang disebut dzimmi. Walaupun mereka berbeda agama, sebagaimana diatur dan disahkan dalam Piagam Madinah, namun mereka mcmpcrolch hak yang sama dalam hal perlindungan dan keamanan jiwa, mcmbcla diri, kebebasan bcra-gama, kebebasan berpendapat dan kedudukan di depan hukum. Mereka juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam mempertahankan keamanan kota Madinah, dan mereka juga harus menjalin kerjasama dalam mewujudkan kebaikan di berbagai bidang kehidupan. Nabi juga mengadakan hubungan dengan penguasa-penguasa yang ada di Jazirah Arab dengan mengirim-kan surat-surat melalui utusan-utusan behau, seperti kepada Kaisar Romawi, Kisra Persia (dua kerajaan besar saat itu), penguasa Mesir, penguasa Bahrain dan penguasa Basrah, dan sebagainya.[26] Surat-surat Nabi kepada para penguasa atau kepala negara terse­but diperkirakan berjumlah 30 buah pucuk surat. Memang inti surat-surat itu untuk tujuan dakwah; mengajak mereka kepada Islam, sebagai bagian dari missi kenabiannya, dan antara Negara Madinah dan negara-negara tersebut belum terjadi pada tingkat hubungan diplomatik seperti yang dikenal sekarang. Tapi pada sisi lain tersirat kehendak Nabi agar tercipta hubungan damai. Dengan adanya hubungan damai dan saling pengertian diharap-kan para penguasa tersebut dapat menerima kehadiran Islam di wilayah kekuasaan mereka. Ini dapat disebut sebagai "politik dakwah Nabi" dalam rangka syiar Islam.
Praktek pemerintahan yang dilakukan Muhammad SAW sebagai Kepala Negara lainnya tampak pula pada pelaksanaan tugas-tugas yang tidak terpusat pada diri beliau. Dalam piagam Madinah behau diakui sebagai pemimpin tertinggi, yang berarti pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikauf. Tapi walaupun pada masa itu orang belum mengenal teori pemisahan atau pembagian kekuasaan, namun dalam prakteknya behau mendelegasikan tugas-tugas eksekutif dan yudikatif kepada para sahabat yang dianggap cakap dan mampu.
Timbulnya berbagai masalah yang dihadapi dan perkembangan wilayah kekuasaan menuntut adanya peta pembagian tugas. Untuk pemerintahan di Madinah Nabi menunjuk beberapa sahabat sebagai pembantu beliau, sebagai katib (sekretaris), sebagai 'amil (pengelola zakat) dan sebagai qadhi (hakim). Untuk peme­rintahan di daerah Nabi mengangkat seorang wali, seorang qadhi
dan seorang 'until untuk setiap daerah atau propinsi. Pada masa Rasulullah Negara Madinah terdiri dari sejumlah propinsi, yaitu Madinah, Tayma, al-Janad, daerah Banu Kindah, Mekkah, Naj-ran, Yam an, Hadramaut, Oman dan Bahrain. Masing-masing pejabat memiliki kewenangan sendiri dalam melaksanakan tugas nya. Seorang qadhi diberi beberapa kebebasan penuh dalam memutuskan setiap perkara, karena secara struktural ia tidak ber-ada di bawah wah. Ah bin Abi Thalib dan Muaz bin Jabal adalah dua orang qadhi yang diangkat Nabi, yang bertugas di dua propin­si berbeda.[27] Nabi juga selalu menunjuk sahabat untuk bertugas di Madinah bila behau bertugas keluar, memimpin pasukan misal-nya.[28] Demikian pula kedudukan behau sebagai panglima perang, behau sering wakilkan kepada para sahabat. Seperti dalam perang Muktah (8 H), behau menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai pang-limanya. Behau juga berpesan: Kalau Ziad gugur, maka Ja'far bin Abi Thalib memegang pimpinan, dan kalau Ja'far gugur, maka Abdullah bin Rawaha memegang pimpinan.[29]
Adapun pranata sosial di bidang ekonomi yang juga menjadi bagian dari tugas kenegaraan, adalah usaha Nabi Muhammad SAW mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial rakyat Madinah. Untuk tujuan ini behau mengelola zakat, infaq dan sadaqah yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah yaitu harta rampasan perang dan jizyah yang berasal dari warga negara non-muslim. Jizyah oleh kalangan juris muslim disebut juga "pajak perlindungan" (protection tax)[30].
Sedangkan praktek pemerintahan Nabi Muhammad di bi­dang hukum adalah kedudukan behau sebagai hakam untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul di kalangan masyarakat Madinah, dan menetapkan hukuman terhadap pelanggar perjanji­an. Ketika kaum Yahudi melakukan pelanggar an sebanyak tiga kali terhadap isi Piagam Madinah, dua kali behau bertindak sebagai hakam-nya, dan sekali behau wakilkan kepada sahabat untuk melaksanakannya.[31] Kedudukannya sebagai hakam dan tugas ini pemah behau wakilkan kepada sahabat, dan penunjukan Muaz bin Jabal dan Ali bin Abi Thalib sebagai hakim, merupakan bukti praktek pemerintahan Nabi di bidang pranata sosial hukum.
Dari sebagian contoh praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Muhammad SAW tersebut, tampak bahwa behau dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara dalam memerintah Negara Madinah dapat dikatakan amat demokratis. Sekahpun undang-undangnya berdasarkan wahyu Allah yang beliau terima, dan Sunnah beliau termasuk Piagam Madinah. Beliau tidak bertindak otoriter sekahpun itu sangat mungkin behau lakukan dan akan dipatuhi oleh umat Islam mengingat statusnya sebagai Rasul Allah yang wajib ditaati.
Dalam kontek itu beberapa ahli mengemukakan pendapat yang berbeda mengenai bentuk dan corak Negara Madinah terse­but di zaman Rasulullah. Ah Abd al-Raziq berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai pemerintahan dan tidak pula mcmbentuk kerajaan. Sebab beliau hanya seorang Rasul sebagai-mana Rasul-Rasul lain, dan bukan sebagai seorang raja atau pembentuk negara. Pcmbcntukan pemerintahan tidak termasuk dalam tugas yang diwahyukan kepada beliau. Walaupun kegiatan-kegiatan tersebut dapat disebut kegiatan pemerintahan, namun bentuk pemerintahannya sangat sederhana, dan kekuasaannya bersifat umum, mencakup soal dunia dan akhirat. Karena sebagai Rasul beliau harus mempunyai kekuasaan yang lebih luas dari kekuasaan seorang raja terhadap rakyatnya. Kepemimpinan beli­au adalah kepemimpinan seorang Rasul yang membawa ajaran baru, dan bukan kepemimpinan seorang raja, dan kekuasaannya hanyalah kekuasaan seorang Rasul, bukan kekuasaan seorang raja.[32]
Dari uraian mengenai Negara Madinah pada periode Mu­hammad SAW, tampak aktivitas beliau tidak hanya menonjol di bidang risalah kenabian (dalam kapasitasnya sebagai Nabi dan Rasul) untuk mengajarkan wahyu yang diterimanya dari Allah SWT kepada manusia. Tetapi juga menonjol di bidang keduniaan untuk membangun kcbuluhan spiritual dan kcbuluhan material masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis, penganut agama dan keyakinan yang berada di bawah kepemimpinannya. Artinya Nabi Muhammad SAW telah menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang bcrhasil melaksanakan prinsip keseimbangan antara kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat bagi umatnya. Terlaksananya prinsip keseimbangan ini karena beliau menerapkan secara konsisten prinsip musyawarah, prinsip kebe­basan berpendapat, prinsip kebebasan beragama, prinsip persamaan bagi semua lapisan sosial, prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan sosial rakyat baik kesejahteraan materilnya mau­pun kesejahteraan spiritualnya, prinsip persatuan dan persaudaraan, prinsip amar makruf dan nahi munkar, dan prinsip ketakwaan.[33]
Sebagai seorang pemimpin politik, Rosululloh SAW. telah melakukan suatu perubahan yang sangat besar dan tergolong Modern di zamannya. Di tengah masyarakat nomadik, beliau sistem masyarakat sipil yang berkeadaban. Di tengah masyarakat kesukuan beliau ciptakan persaudaraan yang lebih luas melinyasi suku dan ras. Beliau juga meletakkan dasar-dasar sistem keunagan publik yang terbukti keberhasilannya dalam membiayai kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya.[34]

C.  Pemerintahan Masa Khulafa Al-Ra Syidin
Dengan wafatnya Nabi, berakhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan temporal (duniawi) yang berdasarkan kenabian dan bersumberkan Wahyu Ilahi. Situasi tersebut tidak akan terulang kembali, karena menurut kepercayaan Islam, Nabi Muhammad adalah nabi dan utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu, beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa di antara para sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat. Dalam Al-Quran maupun Hadis Nabi tidak terdapat petunjuk tentang bagaimana cara menentukan pemimpin umat atau kepala negara sepeninggal beliau nanti, selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku tentang bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah salah satu sebab utama mengapa pada empat Al-Khulafa Ar-Rasyidin ditentukan melalui musyawarah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka ragam.[35]
Abu Bakar menjadi khalifah pertama melalui pemilihan satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah Nabi wafat dansebelum jenazah beliau dimakamkan. Itulah antara lain yang menyebabkan kemarahan keluarga Nabi, khususnya Fatimah, putri tunggal beliau. Mengapa mereka demikian terburu-buru mengambil keputusan tentang pengganti Nabi sebelum pemakaman dan tidak mengikutsertakan keluarga dekat Nabi seperti Ali bin Abu Thalib dan Utsman bin Affan (dua menantu Nabi). Akan tetapi, penyelenggaraan pertemuan tersebut tidak direncanakan terlebih dahulu, dan berlangsung karena terdorong keadaan.
Pada pagi hari itu, Umar bin Khaththab mendengar berita bahwa kelompok Anshar sedang melangsungkan pertemuan di Saqifah atau balai pertemuan Bani Saidah, Madinah, untuk mengangkat Saad bin Ubadah, seorang tokoh Anshar dari suku Khazraj, sebagai khalifah. Dalam keadaan gusar, Umar cepat-cepat pergi ke rumah kediaman Nabi dan menyuruh seseorang untuk menghubungi Abu Bakar, yang berada dalam rumah, dan memintanya keluar. Semula Abu Bakar menolak dengan alasan sedang sibuk Namun, akhirnya dia keluar setelah diberi tahu bahwa telah terjadi satu peristiwa penting yang mengharuskan kehadiran Abu Bakar. Abu Bakar dan Umar segera pergi ke balai pertemuan Bani Saidah. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan Abu Ubaidah bin Jarah, seorang sahabat senior yang juga dari kelompok Muhajirin, dan mereka mengajaknya ikut serta.
Ketika tiga tokoh tersebut sampai di balai pertemuan, sudah datang pula sejumlah orang Muhajirin, dan bahkan telah terjadi perdebatan sengit antara kelompok Anshar dan kelompok Muhajirin. Umar hampir tidak dapat menguasai diri, tetapi ketika beliau hendak berbicara, Abu Bakar berusaha menghentikannya. Abu Bakar dengan nada tenang mulai berbicara. Kepada kelompok Anshar, beliau mengingatkan, bukankah Nabi pernah bersabda bahwa kepemimpin umat Islam itu seyogianya berada pada tangan suku Quraisy, dan bahwa hanya di bawah pimpinan suku itulah akan terjamin keutuhan, keselamatan, dan kesejahteraan bangsa Arab? Dia juga mengingatkan orang-orang Anshar tentang masalah mereka sebelum masuk Islam. Bukankah suku Khazraj dan suku Aus selalu bermusuhan, dan seandainya nanti yang menjadi khalifah seorang Anshar, salah satu dari dua suku utama itu, besar kemungkinan suku yang lain tidak menerimanya, sehingga muncul kembali permusuhan pada zaman Jahiliyah. Kemudian, Abu Bakar menawarkan dua tokoh Quraisy untuk dipilih sebagai khalifah, yaitu Umar bin Khaththab atau Abu Ubaidah bin Jarah. Orang-orang Anshar tampaknya sangat terkesan oleh ucapan Abu Bakar.
Umar tidak menyia-nyiakan momentum yang sangat baik itu. Dia bangun dari tempat duduknya dan menuju ke tempat Abu Bakar untuk berbaiat dan menyatakan kesetiaannya kepada Abu Bakar sebagai khalifah, seraya menyatakan bahwa bukankah Abu Bakar yang selalu diminta oleh Nabi untuk menggantikan beliau sebagai imam shalat bilamana Nabi sakit, dan bahwa Abu Bakar adalah sahabat yang paling disayangi oleh Nabi. Perbuatan Umar itu diikuti oleh Abu Ubaidah bin Jarah. Akan tetapi, sebelum dua tokoh Quraisy itu tiba di depan Abu Bakar dan mengucapkan baiat, Basyir bin Saad, seorang tokoh Anshar dari suku Khazraj, mendahului mengucapkan baiatnya kepada Abu Bakar. Barulah kemudian Umar dan Abu Ubaidah serta para hadirin, baik dari kelompok Muhajirin maupun kelompok Anshar, termasuk Asid bin Khudair, seorang tokoh Anshar dari Aus. Baiat terbatas ini kemudian terkenal dalam sejarah Islam dengan nama Bai'at Saqifah, atau baiat di balai pertemuan. Pada hari berikutnya, Abu Bakar naik mimbar di Masjid Nabawi dan berlangsunglah baiat umum.[36]
Menurut Mawardi, pada hakikatnya, pemilihan Abu Bakar di balai pertemuan Bani Saidah itu dilakukan oleh kelompok kecil yang terdiri dari lima orang selain Abu Bakar. Mereka ialah Umar bin Khaththab, Abu Ubaidah bin Jarah, Basyir bin Saad, Asid bin Khudair, dan Salim, seorang budak Abu Khuzaifah yang telah dimerdekakan. Seperti telah diuraikan di atas, dua di antara mereka berasal dari kelompok Muhajirin atau Quraisy, dan dua lagi berasal dari kelompok Anshar, masing-masing dari unsur Khazraj dan unsur Aus. Memang betul, banyak sahabat senior yang tidak ikut hadir pada pertemuan itu, seperti Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Abd al-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqash dan Thalhah bin Ubaidillah. Akan tetapi, ditinggalkannya mereka bukan suatu kesengajaan, karena seperti yang telah diuraikan terdahulu, pertemuan itu tidak direncanakan. Keadaan waktu itu amat genting, sehingga memerlukan tindakan cepat dan tegas. Kemudian, para sahabat senior tersebut seorang demi seorang, kecuali Zubair, dengan sukarela berbaiat kepada Abu Bakar. Zubair memerlukan tekanan dari Umar agar bersedia berbaiat. Adapun Ali bin Abu Thalib, menurut banyak ahli sejarah, baru berbaiat kepada Abu Bakar setelah Fatimah istri Ali dan putri tunggal Nabi, tutup usia.
Umar bin Khaththab, berbeda dengan pendahulunya, Abu Bakar, mendapatkan kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah yang terbuka, tetapi melalui penunjukan atau wasiat oleh pendahulunya. Pada tahufi ketiga sejak menjabat khalifah, Abu Bakar jatuh sakit. Selama lima belas hari, dia tidak pergi ke masjid, dan meminta kepada Umar agar mewakilinya menjadi imam shalat. Makin hari, sakit Abu Bakar makin parah dan timbul perasaan padanya bahwa ajalnya sudah dekat. Sementara itu, kenangan tentang pertentangan di balai pertemuan Bani Saidah masih segar dalam ingatannya. Dia khawatir kalau tidak segera menunjuk pengganti dan ajalnya segera datang, akan timbul pertentangan di kalangan umat Islam yang lebih hebat daripada ketika Nabi wafat dahulu. Bagi Abu Bakar, orang yang paling tepat menggantikannya tidak lain adalah Umar bin Khaththab. Dia mulai mengadakan permusyawarahan tertutup dengan beberapa sahabat senior yang kebetulan menengoknya di rumah. Di antara mereka adalah Abd Ar-Rahman bin Auf dan Utsman bin Affan dari kelompok Muhajirin, serta Asid bin Khudair dari kelompok Anshar. Pada dasarnya, semua mendukung maksud Abu Bakar, meskipun ada beberapa di antaranya yang menyampaikan catatan. Abd Ar-Rahman misalnya, mengingatkan akan sifat "keras* Umar. Peringatan itu dijawab oleh Abu Bakar bahwa Umar yang bersikap keras selama ini karena melihat sifat Abu Bakar yang biasanya lunak, dan kelak kalau Umar sudah memimpin sendiri, dia akan berubah menjadi lebih lunak. Suatu hal yang cukup menarik ialah seusai bermusyawarah dengan Abd Ar-Rahman bin Auf dan Utsman bin Affan, Abu Bakar berpesan kepada mereka berdua agar tidak menceritakan pembicaraan itu kepada orang lain.
Abu Bakar memanggil Utsman bin Affan, lalu mendiktekan pesannya. Baru saja setengah dari pesan itu didiktekan, tiba-tiba Abu Bakar jatuh pingsan, tetapi Utsman terus saja menuliskannya. Ketika Abu Bakar sadar kembali, dia meminta kepada Utsman supaya membacakan apa yang telah dia tuliskan. Utsman membacanya, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Abu Bakar telah menunjuk Umar bin Khaththab supaya menjadi penggantinya (sepeninggal dia nanti). Seusai dibacakan pesan yang sebagian ditulis oleh Utsman sendiri itu, Abu Bakar bertakbir tanda puas dan berterima kasih kepada Utsman. Abu Bakar menyatakan pula, bahwa tampaknya Utsman juga ikut gusar terhadap kemungkinan perpecahan umat kalau pesan itu tidak diselesaikan.[37]
Sesuai dengan pesan tertulis tersebut, sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khaththab dikukuhkan sebagai khalifah kedua dalam suatu baiat umum dan terbuka di Masjid Nabawi.
Utsman bin Affan menjadi Kholifah yang ketiga melalui proses yang berbeda, tidak sama dengan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Dia dipilih oleh kelompok oleh orang yang nama-namanya sudah ditentukan oleh Umar Bin Khaththab sebelum beliau Wafat. Enam sahabat yang berperan sebagai Formatur diantaranya yaitu : Abdurrohman bin Auf, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqosh, Tholhah bin Ubaidillah, Ali bin Abi Tholib dan Utsman bin Affan.
Strategi yang digunakan oleh beliau Utsman bin Affan diantaranya; Perluasan Wilayah, Kondifikasi Al Qur’an,, Otonomi Daerah, Membentuk angkatan Laut dan Merehab Masjid Nabawi di Madinah.
Pemerintahan Ustman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya, kekecewaan ini disebabkan oleh kebijaksanaan Ustman mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Diantaranya adalah  Marwan Ibnu Hakam, dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Ustman hanya menyandang gelar Kholifah. Ustman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar, mungkin karena usianya yang lanjut(diangkat usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut sehingga mudah diperdaya keluarga dan kerabatnya. Tahun 35 H /655 M Ustman dibunuh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa.
Setelah peristiwa kematian Ustman Bin Affan, terjadi kefakuman kholifah selama 3 hari. Seluruh kota Madinah lumpuh akibat kekacauan yang dibuat para pengacau, bahkan jenazah Ustman terlantar selama 3 hari. Ali bin Abi Tholib seorang pribadi yang agung, lemah lembut, namun memiliki kecerdasan yang tinggi. Karena kepribadiannya yang agung inilah banyak kaum munafik yang tidak menyukai kalau Ali menjadi kholifah, khawatir pola kepemimpinan Ali sama ketika pemerintah Islam dikendalikan Umar bin Khottob. Mereka takut kesenangan dan kenikmatan yang mereka rasakan  yang didapat dengan cara bathil pada masa Ustman tidak ada lagi andaikata Ali Bin Abi Tholib menjadi Kholifah.
Sejak Islam lahir sampai masa Utsman merupakan satu kesatuan politik dan wilayah yang jelas di bawah seorang kepala negara, atau Khalifah yang sekaligus sebagai imam. Tetapi dengan peristiwa Tahkim yang demikian berarti dunia Islam telah terpecah menjadi dua wilayah dan kekhalifahan: Imam Ali di Timur Semenanjung Arab, Irak dan Persia dan Mu’awiyah di bagian barat meliputi Syam dan Mesir. Sudah tentu ini membawa terpecahnya umat Islam yang berakhibat jauh dalam sejarah. Karena Akidah Islam yang begitu kuat, perpecahan politik ini tidak sampai berpengaruh pada kesatuan akidah.[38]
Golongan yang anti dengan pengangkatan Ali Bin Abi Tolib sebagai kholifah sangat kecil(keluarga Umaiyyah), sedangkan masyarakat Islam secara umum menanti pengangkatan  Ali sebagi Kholifah. Ali diharapkan  dapat menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat Islam yang hidupnya menderita. Karena desakan dari arus bawah yang begitu kuat agar Ali bin abi  Tholib segera diangkat menjadi kholifah, maka para sahabat dan umat Islam membaiat Ali sebagai kholifah keempat pengganti Utsman bin Affan yang telah meninggal dunia. Semula beliau menolak tetapi karena demi kepentingan Islam, akhirnya menerima pengangkatan itu.
Ada beberapa Strategi yang digunakan oleh Beliau Syayidina Ali bin Abi Tolib yaitu; Mengganti para Gubernur, menarik tanah milik negara dan perbaikan ilmu Bahasa. Semua gubernur yang diangkat Kholifah Ustman diganti oleh Kholifah Ali dengan alasan para gubernur inilah yang menyebabkan banyak pemberontakan di masa kekholifahan Ustman bin Affan. Gubernur-gubernur yang diganti yaitu Gubernur syiria diganti Sahl Bin Hanif, Gubernur Basrah diganti Usman bin Hanif, Gubernur Mesir diganti Qais Bin Sa’ad, Gubernur Kufah diganti Umrah bin Syihab, dan Gubernur Yaman diganti Ubaidah bin Abbas.
Tidak lama kemudian munjul perang Jamal yang mana Pemberontakan yang di lakukan oleh Zubair, Tholhah dan Aisyah, mereka menuntut bela terhadap pembunuhan Ustman bin Affan dan menganggap Ali tidak mau menghukum para pembunuh Ustman. Kholifah ali sebetulnya tidak menghendaki pertumpahan darah, tetapi konflik memuncak yang menyebabkan tholhah dan Zubair terbunuh dan aisyah dipulangkan  ke Madinah.
Kebijakan Ali mengakibatkan perlawanan dari gubernur  di Damaskus, Muawiyah. Di  dukung pejabat-pejabat yang dirugikan dengan kebijakan Ali. Setelah meredakan perang Jamal,Ali memadamkan pemberontakan di Damaskus. Pasukan Ali dan Muawiyyah bertemu di Shiffin. Peperangan diakhiri dengan Tahkim, yang menyebabkan munculnya golongan Khowarij yang tidak setuju dengan pilihan Tahkim Ali. Munculnya gol khowarij melemahkan posisi Ali, sementara itu Muawiyah gigih menggalang kekuatan.
Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M) Ali terbunuh oleh salah seorang anggota khowarij Kedudukan Ali digantikan oleh Hasan selama beberapa bulan. Karena Hasan lemah, dan Muawiyyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai yang dapat mempersatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan politik. Perjanjian ini menyebabkan Muawiyyah menjadi penguasa absolut dalam Islam.
Peristiwa di Karbela juga terjadi yang berawal dari pengkhianatan Muawiyah atas perjanjian Damai dengan Hasan Bin Ali, dengan mewajibkan seluruh rakyat untuk menyatakan setia terhadap Yazid bin Muawiyyah. Perlawanan dilakukan oleh Husein, abdullah bin Zubair yang berkonsolidasi dengan Syiah. Husein atas permintaan kaum syiah pindah dari Madinah ke Kufah, dan di baiat sebagai Kholifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di karbela, Husein terbunuh, kepalanya di penggal dan di bawa ke Damaskus, sedang badannya dimakamkan di Karbela.
Ada beberapa Faktor-Faktor yang menyebabkan ekspansi islam berkembang pesat yaitu;  Pertama Suku-suku arab gemar berperang, semangat dakwah dan kegemaran berperang membentuk satu kesatuan yang merupakan potensi kekuatan pertahanan Islam Terwujud dalam Jihad. Kedua Byzantium dan persia, dua kekuatan yang menguasai timur tengah mengalami kemunduran  akibat sering terjadi peperangan antara keduanya dan persoalan intern. Ketiga Pertentangan aliran agama di wilayah Byzantium mengakibatkan pemaksaan agama kepada rakyat, dan pajak yang tinggi untuk biaya perang membuat rakyat tidak menyukai penguasa Eropa. Empat Islam datang ke daerah2 yang dimasuki dengan simpatik dan toleran. Lima Mesir, Syiria, Irak adalah daerah yang kaya. Kekayaan ini membantu penguasa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.

D.  Ikhtitam
Peradapan Islam pada masa Rosululloh dan Khulafaur Rosyidin merupakan sejarah yang indah dalam Peradapan Islam saya bisa saya simpulkan sebagai berikut :
1.        Tokoh di dalamnya yang sangat berkopenten adalah beliau Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam dan Para Khulafaur Rosyidin.
2.        Dalam Masa Rosululloh Sholallohu ‘laihi Wa Sallam ada dua Periode diantaranta Periode Makkah dan Periode Madinah, yang mana periode Madinah merupakah langkah awal dalam peletakan Negara Islam dengan adanya bukti yakni Baiat Aqobah I dan II dan juga Piagam Madinah.
3.        Negera pada umumnya dan khususnya negara Islam terbentuk adanya tiga pilar yang tidak terpisah yakni; Wilayah, Penduduk atau Rakyat dan pemerintahan yang berdaulat.
4.        Rosululloh tidak hanya mengatasi soal dunia tapi juga soal Akhirat.
5.        Negara Islam pada waktu Rosululloh sudah berdiri dari beberapa Propinsi atau daerah yang sudah diatur oleh wakil Roululloh.
6.        Sistem yang digunakan Oleh Rosululloh SAW. dalam memecahkan atau menentukan suatu kebijakan atau stategi dalam peperangan yakni dengan menggunakan Sitem Musyawarah.
7.        Politik nabi dengan Misi  dan Visi Islam secara sirri dan terang-terangan.dan ketika diberikan penyiaran tentang Islam menentang makan diantara jalan yang dilakukan adalah dengan berperang.
8.        Sistem pemerintaan Rosulullaoh mencapai Soal Dunia dan Akhirat dan didalamnya tidak terdapat Sitem kerajaan atau pun semacamnya.yang dimana Beliau sebagai Utusan untuk ummat manusia Jami’al Alamin.
9.        Khulafaur Rosyidin merupakan generasi penerus setelah Rosululloh, adapun sistemnya tidak jauh berbeda diantanya sitem Musyawrah dari para Shohabat empat tersebut yang berbeda satu dengan yang lainnya dan juga mempunyai perbedaan yang sangat membedakan. diantara shohabat.  Abu Bakar, Umar bin Khottob, dalam Hadist Syarif  Bahwa “Alloh telah menempatkan kebenaran dilidah dan di hati Umar”, Shohabat Ustman Terkenal bahwa “ beliau merupakan Ummat yang benar-benar pemalu adalah Ustman” Ali bin Abi Tholib
Selanjutnya penulis sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca untuk mendermakan secuil kritiknya bagi tulisan ini dalam rangka tawāshau bil haq. Sekian, mohon maaf dan semoga bermanfaat, amin. Wassalam.



[1] Muhammad Syafii Antonio. Muhammad The Super Leader Super Manager, Telaan Sukses dalam Hidup & Bisnis, (Tazkia. Set. XVI 2009) hlm.153
[2] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin Dan Pemikiran Politik Islam (Erlangga . 2008, hlm 26).
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari BerbagaiAspeknya, Jilid I, Ul-Press Jakarta, 1986, hlm.92
[4] Sebagai dikutip oleh Muhammad Dhiya' al-Din al-Rayis, al-Nazhariyat i al-Siyasat al-Islamiyat, Maktabat_al-Anjlu, Mishr, 1957, hlm.. 15.
[5] 'Thomas W. Arnold, The Caliphate, Routledge and Kegan Paul'LTD., | London, 1965, hlm.. 30.
[6]Fazlur Rahman, "The Islamic Concept of State": dalam John J. Donohue 1 and L. Esposito (eds.), Islam in Transition: Muslim Perspective, Oxford University Press, New York, 1982, hlm.. 261.
[7] Ibn Ishaq, Sfrat Rasul Allah, tcrjemahan Inggris oleh A. Guillaume, The Life of Muhammad, Oxford University Press, Karachi, 1970, hlm.. 198 - 204, Hasan Ibrahlm. Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid I, Al-Maktabat al-Nahdhat al-Mishriyat, al-Qahirat, 1979, hlm.. 95-97.
[8]Munawir Sjadzali,  hlm.. 9.
[9] Q.S. al-Baqarah/2:218, dan al-Nahl/16:41,110
[10] Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah Ajran, Sejarah dan Pemikiran ( RajaGrapindo Persada, Jakarta. Cet. V. 2002) hlm. 81.
[11] Naskah perjanjian tersebut di muat dalam Ibn Hisyam, hlm. 301 -303, Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, Dar al-Fikr, Bairut, 1988, hlm.. 260-264, Muhammad Husein Haikal, llayat Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad) terjemahan Ali Audah, hlm.. 200-202, Ibn Ishaq, Sirat RasUl Allah, terjemahan Inggris A. Guillaume, hlm.. 231-233, Ibn Kateir,At-Biddyat wa al-Nihayat, Jilid III, hlm.. 244-246. Teks Piagam Madinah tersebut telah dilerjemahkan kc dalam berbagai bahasa penting di dunia, yaitu bahasa-bahasa Urdu, Turki, Perancis, Inggris, Jerman, Itali, Belanda dan Indonesia.
[12] Nurcholish Madjid, "Cita-cita Politik Kiu" dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal (penyunting), Aspirasi Umat Islam Indonesia, LEPPENAS, Jakarta, 1983. hlm.. 11.
[13] Philip K. Hitti
[14] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, 1989, hlm.. 38.
[15] Muhammad Marmadukc Pickthal, The Meaning of Glorious Koran, New American Library, New York, 1953, hlm.. xvii.
[16] Miriam Budiardjo, hlm. 42-44, Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, PT Ercsco, Bandung-Jakarta, 1981, hlm.. 13.
[17] Miriam Budiardjo, hlm. 46.
[18] Diponolo, Ilmu Negara. Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta, 1975, hlm.. 55.
[19] Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abd al-Mu'thi Muhammad, Al-Fikr al-Siyasifi al-Islam, Dar al-Jami'at al-Mishriyat, Iskandariyat, 1978, hlm.. 72-73.
[20] Ibn Ishaq, Sirat Rasul Allah, hlm.. 293-294. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsiral-Manar, Jilid IV, hlm.. 200, dan Al-Thabari, Tarlkh al-Umam wa al-Muluk, Jilid HI, Dar al-Fikr, Bairut, 1987, hlm.. 31 dan 43.
[21] Ibnu Ishaq , hlm. 339, dan Al-Thabari, hlm. 79.
[22] Ibnu Ishaq hlm. 371-372.
[23] Ibn Atsir, Al-Kamil ft al-Tarikh, Jilid II, Dar Bairut, Bairut, 1965, him.178-179
[24] Ibn Ishaq, ...........  hlm. 504, dan Al-Thabari, hlm. 226-227.
[25] Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa penghapusan kalimat "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya" yang berjumlah tujuh kata dari "Piagam Jakarta".
[26] A1-Bukhan. Shahih al-Bukhar'i, Jilid U, Juz 4, hlm. 54-57.
[27] Muhammad A. al-Buraey, Islam Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan, Rajawali, Jakarta, 1986, him. 254-255
[28] Baca Ibn Hisyam, Sirat al-Nabawiyat, Jilid II, him. 54- 56,57, dan 143.
[29] Said Ramadhan, Islamic Law: Its Scope and Equity, 2nd Edition, 1970
[30] Muhammad Husein Haikal, Hayat Muhammad, hlm. 405
[31] Said Ramadhan, Islamic Law: Its Scope and Equity, 2nd Edition, 1970,
[32] Ali Abdal-Raziq,Al Islam wa Ushul Al Hikim, al-Qahirat, 1925, hlm 64-69.
[33] Suyuthi Pulungan, M.A. . Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Rajawali Perss. Cet. Kelima 2002 Jakarta. hlm. 102.
[34] Muhammad Syafii Antonio. Muhammad The Super Leader Super Manager, Telaan Sukses dalam Hidup & Bisnis, (Tazkia. Set. XVI 2009) hlm.188.
[35] Munawir Sjadzali, 1990: 21
[36] Munawir Sjadzali, 1990: 22-23
[37] Beni Ahmad Sebani. Fiqih Siyasah Pengatra Ilmu Politik Islam. Bustaka Setia Bandung Cet I. 2008. hlm. 216.
[38] Ali Audah. Ali bin Abi Talib sampai kepada Hasan da Husain, Litera AntarNusa, Jakarta Cet. VII 2010. . hlm. 267

Comments

  1. Merkur Futur Safety Razor | Merkur Futur, Classic
    Merkur Futur 메리트카지노 Safety Razor - The Merkur Futur is a classic double-edge razor. This razor features a closed comb design with 온카지노 a knurled handle for 제왕카지노 improved blade

Emotions
Copy and paste emojis inside comment box

Archive

Contact Form

Send

Menu