Aplikasi Maslahah Mursalah Dalam Ekonomi

Aplikasi Maslahah Mursalah Dalam Ekonomi
Aplikasi Maslahah Mursalah Dalam Ekonomi

A.    Pengertian Masalah Mursalah

Maslahah Mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata mursalah berasal dari kata bahasa arab   صَلَحَ   يَصْلُحُmenjadi  صُلْحًا  atau مَصْلَحَةً    yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal  dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu:  اَرْسَلَ  يُرْسِلُ  اِرْسَالاً- مُرْسَلٌ menjadi مُرْسَل 
yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “Maslahah Mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat). 1

Maslahah (Kesejahteraan Umum) yakni yang dimutlakkan, (Maslahah bersifat umum) menurut Ulama Ushul yaitu, maslahah di mana syari’ tidak menyaratkan hukum untuk mewujubkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuan atau pembatalannya.

Penjelasan definisi ini yaitu bahwa pembentukan hukum itu tidak dimaksudkan, kecuali merealisir kemaslahatan ummat manusia. Artinya mendatangkan keuntungan bagi mereka dan menolak madharat serta menghilangkan kesulitan daripadanya. Dan bahwasanya kemaslahatan ummat manusia itu tidak terungkap bagian-bagiannya, tidak terhingga pula individu-individunya. Maslahah itu juga baru menurut barunya keadaan ummat manusia dan berkembang menurut perkembangan lingkungan. Sedangkan pembentukan hukum itu, terkadang mendatangkan keuntungan pada suatu zaman, hukum itu terkadang mendatangkan keuntungan bagi suatu lingkungan dan bisa mendatangkan madharat bagi lingkungan yang lain. 2

Jadi maslahah-maslahah, dimana syari’ telah mensyariatkan hukum untuk merealisir maslahah itu, dan atas pengakuan syari’ atas maslahah itu, telah ditunjukkan beberapa illat dari hukum yang disyariatkannya, maka maslahah-maslahah itulah yang didalam istilah ulama Ushul disebut (maslahah Mu’tabarah) (maslahah yang diakui) dari syari’, seperti pemeliharaan hidup manusia, dimana syari’ telah mensyariatkan mengenai keharusan hal itu, qishos bagi pembunuh secara sengaja dan pemeliharaan harta kekayaan bagi mereka, hal mana syari’ telah mensyariatkan mengenai hal itu dan dera pencuri, baik laki-laki maupun perempuan. Juga pemeliharaan kehormatan mereka, yang syari’ telah mensyariatkan mengenai hal itu, dera penuduh, dera laki-laki atau perempuan yang berbuat zina. Jadi masing-masing tersebut, baik pembunuhan secara sengaja, pencurian, tuduhan dan zina adalah sifat yang sesuai. Artinya bahwa pembentukan hukum yang didasarkan kepadanya itu adalah berarti  merealisir maslahah, dan itu diakui oleh syari’ kerena syari’ telah mendasarkan hukum atas sifat tersebut yang sesuai dan diakui oleh syari’itu, adakalanya sesuai dan mempengaruhi, dan adakalanya sesuai dan sepadan, menurut macam pengakuan syari’ kepadanya. Dan tidak ada perselisihan dalam pembentukan hukum itu atas dasar sifat tersebut, seperti yang telah uraikan diatas. 3

Adapun maslahah-maslahah yang dikehendaki oleh suasana sekeliling kenyataan-kenyataan baru yang datang setelah terputusnya wahyu, sedangkan syari’ belum mensyariatkan hukum untuk merealisir maslahah-maslahah tersebut, dan juga tidak terdapat dalil syari’ mengenai pengakuan atau pembatalan maslahah-maslahah tersebut, maka maslahah-maslahah itu yang disebut sebagai Munasibul-Mursal (sifat yang sesuai dengan umum) atau dengan istilah lain Maslahah Mursalah. Seperti maslahah yang menghendaki bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa resmi, maka pengakuan perkawinan itu tidak bisa diterima ketika terjadi pengingkaran, dan seperti maslahah yang menghendaki kontrak jual-beli yang tidak dicatat, tidak dapat memindahkan hak milik. Semua ini adalah maslahah yang oleh syari’ belum disyariatkan hukumnya, dan juga tidak terdapat dalil daripada menghenai pengakuan atau pembatalan maslahah-maslahah itu. Jadi maslahah-maslahah itulah yang disebut sebagai Maslahah Mursalah. 4

Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa Maslahah Mursalah ialah menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya dan tidak ada ijma, berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan syariat dan dibatalkan syariat.5

Terdapat beberapa definisi Maslahah Mursalah yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama, Imam al-Ghazali dalam bukunya al-Musthafa, mengemukakan bahwa pada prinsipnya Maslahah Mursalah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’6

Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan Maslahah Mursalah adalah jalan kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindarkan mudharat.7 Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa, Maslahah Mursalah adalah maslahah yang masuk dalam pengertian umum yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat). Alasannya adalah syariat Islam datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk umum. Nash-nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek kehidupan.8

Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman, bahwasanya Maslahah Mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu masalah atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash, yang apabila dikerjakan jelas membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan kemaslahatan yang bersifat umum pula.

B.     Macam-macam Maslahah Mursalah

Berdasar dari beberapa pengertian Maslahah Mursalah, para ahli Ushul Fiqih mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi diantaranya: 9





            1.      Dari segi keberadaan Maslahah menurut Syara’

a)      Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh suyara’ meksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.

b)      Maslahah Al-Mughah; kemaslahatan yang ditolak syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’,

c)      Maslahah Mursalah; kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’melalui dalil-dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi atas dua yaitu:

                                      i.      Maslahah al-ghariban, yaitu kemaslahatan yang asing atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’.

                                    ii.      Maslahah al-mursalah, kemaslahatan yang tidak didukung oleh serkumpulan makna nash (ayat atau hadist)

            2.      Dari segi Kandungan Maslahah

a)      Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti  untuk semua kepentingan orang , tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas ummat/kelompok.

b)      Maslahah al-khasha, yakni kemaslahatan pribadi seperti kermaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (magfud)

Pentingnya pembagian kedua  kemaslahatan ini berkaitan dengan mana yang harus didahulukan apabila kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan ke dua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.

            3.      Dari segi berubah atau tidaknya Maslahah

a)      Maslahah al-Tsabitah, yakni kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji.

b)      Maslahah al-Mutagayyirah, yakni kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum.

Pentingnya pembagian ini menurut Mustafa al-Syalabi, dimaksudkan untuk memberi batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan tidak.

Sesungguhnya masih ada pembagian maslahah yang dikemukakan para ahli ushul fiqih yakni dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, tapi ini akan diuraikan pada tingkatan maslahah, karena pembagian maslahah ini mewakili macam-macam kemaslahatan yang telah dijelaskan tadi.

C.  Tingkatan-tingkatan Maslahah Mursalah

Para ahli Ushul sepakat bahwa syariat Islam bertujuan untuk memelihara 5 hal yakni: (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3)memelihara akal, (4) memeliharar keturunanan, dan (5) memelihara harta.10 Sementara Hamka Haq dalam bukunya “Falsafat Ushul Fiqih” mengemukakan bahwa terdapat 6 aspek kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat diantaranya, (1) memelihara agama, (2) memelihara jamaah, (3) memelihara jiwa, (4) memelihara akal, (5) memelihara keturunan dan (6) memelihara harta benda. Aspek ini diurut berdasarkan prioritas urgensinya.11 Adapun mengenai kemaslahatan setiap aspek tersebut dibedakan dalam tiga tingkatan yakni:

  1. Tingkatan pertama; maslahah dharuriyah

Maslahah dharuriyah ialah segala apek yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia, dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan dan kemaslahatan manusia, baik ukhrawi maupun  duniawi.

  1. Tingkatan kedua; maslahah hajiyyah

Maslahah hajiyyah ialah segala yang menjadi kebutuhan primer (pokok) manusia dalam hidupnya, agar hidupnya bahagia dan sejahtera dunia akhirat serta terhindar dari kemelaratan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh maka kehidupan manusia mengalami kesulitan meskipun kehidupan mereka tidak sampai punah.

3.  Tingkatan ketiga ; Maslahah Tasniyah

Yakni, suatu kebutuhan hidup yang sifatnya komplementer (sebagai pelengkap) dan lebih menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia. Jika kemaslahatan ini tidak terpenuhi maka hidup manusia kurang indah dan kurang nikmat, kendatipun tidak sampai menimbulkan kemudharatan dan kebinasaan hidup.

Seperti telah dikemukakan, masing-masing dari enam perkara yang telah disebutkan sebagai tujuan pokok syariat pada asasnya dapat dilihat dari tiga sisi tersebut. Misalnya dalam aspek pemeliharaan agama, maka yang menjadi dharuriyah adalah aqidah atau kepercayaan kepada Tuhan. Tanpa aqidah yang benar maka agama tidak mungkin tumbuh dan berkembang, sebab tidak ada sarana sekali unsur agama yang dapat dikabulkan oleh Allah SWT tanpa aqidah tauhid. Sementara itu, guna memudahkan manusia menyalurkan naluri tauhidnya, maka diadakanlah oleh syariat sejumlah praktek ibadah ritual. Dalam ibadah itulah setiap manusia diharapkan akan semakin menghayati amal tauhidnya kepada Tuhan. Karena itu, jika tauhid diwajibkan maka dengan sendirinya ibadah yang mengatur kepada memperkokoh tauhid itupun turut serta situasi lainnya, ibadah seringkali dibolehkan bahkan dianjurkan untuk ditinggalkan. Lihat saja, mengapa seorang wanita haid dilarang bershalat dan berpuasa? Mengapa shalat dhuhur dapat digabung atau dikurangi rakaatnya dalam jama’ qashar. Semua itu disebabkan karena ibadah itu sangat relatif, artinya sangat terkait dengan tempat, waktu dan situasi. Dan sebagai pelengkap atau tahsisninya menyangkut agama ialah segala hal yang menjadi penunjang terlaksananya ibadah dan lebih menambah nikamatnya ibadah itu, misalnya thaharah.12

Mengenal tingkatan-tingkatan kemaslahatan dan karakteristiknya yang bersifat kully atau mutlak dan juz’iy atau nisbi (relatif) adalah sangat penting terutama dalam menetapkan hukum pada tiap-tiap perbuatan dan persoalan yang dihadapi manusia. Misalkan saja, memelihara jiwa itu bersifat dharuriy yang hukumnya mencapai derajat wajib lidzhati, karenanya hukum tersebut tidak  berubah kecuali jika diperhadapkan pada soal lain yang  sifat dharuriy-nya lebih tinggi, misalnya demi memelihara aqidah maka jiwa dapat saja dikorbankan. Sementara itu,  memelihara bersifat hajiyah, sehingga hukumnya hanya sampai pada derajat wajib lighayrih, dalam arti wajib karena terkait dengan persoalan lain, yakni ia terkait dengan persoalan hidup yang sifatnya dharuriyah.13

Selain itu menempatkan kehidupan bernegara sebagai cara hidup berjamaah adalah wajib secara dharuriyah, karena  hal ini pada posisi terpenting kedua sesudah pemeliharaan aqidah, maka syariat mengharuskan seseorang mengorbankan jiwanya demi membela bangsa dan negaranya. Dalam kaitannya dengan perlunya negara itu, haruslah ada seorang pemimpin dan lembaga-lembaga negara lainnya. Tetapi kedudukan lembaga-lembaga negara yang  mencakup pemimipin dan waliyul amri, tidak bersifat dharuriyah, tetapi hanya bersifat hajiyah, yang diperlukan guna memudahkan  terselenggaranya suatu jamaah (negara) dengan baik. Tanpa institusi-institusi itu, negara tidak dapat terselenggara dengan baik. Akan tetapi, karena sifatnya hanyalah hajiyyah, maka syariat tidak membenarkan adanya korban jiwa demi mempertahankan kedudukan seorang pemimpin.

Dari uraian-uraian di atas dapat difahami bahwa ketiga kemaslahatan di atas adalah dasar-dasar yang diperhatikan oleh syara’ dalam mengukur teori  Maslahah Mursalah, baik macam maupun tingkatannnya. Ketiganya perlu dibedakan sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan. Dimana kemaslahatan dharuriyah harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan hajiyyah dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyah.



1 Khairu Umam, at, al; Ushul Fiqih I, (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 135

2 Abd. Wahab Khallaf, 1996, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Ushul Fiqih), diterjemahkan oleh Nur Iskandar Al-Barsany, (Jakarta: Rajawali), h. 126-128

3 Ibid,

4 Ibid,

5  Nasrun harun, 1997, Ushul Fiqih (Cet. II: Jakarta: Logos Wacana Ilmu), h. 114

6Ibid,

7Ibid,

8 Lihat: Mustafa Ahmad Al-Zarqa, 2000, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, (Studi Komparatif delapan mazhab fiqih), diterjemahkan oleh Ad. Dedi Rohayana, (Cet. I: Jakarta: Rineka Ciprta), h. 35

9 Nasrun Haroen.,1997, Ushul …….,h. 117

10 Ibid., h.115

11 Hamka Haq, 1998, Falsafat Ushul Fiqih (Yayasan Al-Ahkam, Ujung Pandang), h. 76

12 Ibid, h.77

13  Ibid, h. 78

Comments

Archive

Contact Form

Send