Pandangan Ekonomi Islam terhadap Analisis Pareto Optimum
Dalam perkembangannya saat ini Ekonomi Islam telah berkembang dengan pesat di Indonesia. Perkembangannya tersebut tidak hanya meliputi praktik lembaga keuangan Islam, tetapi sudah mencapai tataran pembahasan teori dan metodologi. Berbagai diskusi dan pemikiran mengenai Ekonomi Islam banyak diperbincangkan dan dicarikan formulasi teorinya oleh para cendikiawan muslim di seluruh dunia. Berkaitan dengan perkembangannya tersebut,
Ekonomi Islam terus melakukan perumusan-perumusan teori dan pengkajian
ulang terhaadap rumusan ekonomi konvensional, yang telah mapan saat
ini, karena pada kenyataanya banyak fenomena-fenomena yang gagal
dijelaskan oleh sistem ekonomi konvensional. Salah satu kritik, selain
penggunaan bunga sebagai riba dalam kegiatan ekonomi, Ekonomi Islam
yang menjatuhkan kemapanan sistem ekonomi konvensional adalah kritik
terhadap analisis pareto optimum.
Pareto
optimum adalah suatu kondisi keseimbangan umum yang ingin dicapai dalam
setiap kegiatan ekonomi dalam pasar ekonomi konvensional. Pareto
optimum menggambarkan suatu keseimbangan yand efisien, dimana dalam
kondisi pareto masyarakat sebagai pelaku ekonomi tidak dapat
meningkatkan tingkat kepuasaan optimalnya tanpa merugikan tingkat
kepuasan orang lain. Bila kondisi tersebut telah tercapaia maka
sesungguhnya telah dicapai suatu kesejahteraan bagi masyarakat. Kondisi
seperti inilah yang ingin dicapai sitem ekonomi konvensional.
Dalam
makalah ini sebelum memasuki pembahasan kritik Ekonomi Islam terhadap
analisis pareto optimum, terlebih dulu dijelaskan pengertian pareto
optimum dalam teori keseimbangan umum. Hal ini menjadi perlu agar dalam
kritik yang dilakukan dapat terlihat dari sisi mana kelemahan pareto
optimum itu dan ketidaksesuaiannya dengan sistem ekonomi Islam.
Kemudian pembahasan berlanjut kepada pengenalan sitem Ekonomi Islam
secara luas, meliputi teori dan prinsip-prinsip yang melandasinya agar
semakin dapat dimengerti mengapa secara Islam kondisi pareto optimum
bukanlah kondisi keseimbangan yang ingin dicapai. Setelah itu masuklah
kita ke dalam pembahsan inti dari makalah ini, yaitu kritik terhadap
analisis pareto optimum yang tidak sesuia dengan ekonomi Islam. Mengapa
pareto optimum justru tidak menjadi kondisi yang diidam-idamkan oleh
ekonomi Islam? Pada bagian terakhir pembahasan makalah ini akan
dijelaskan mengenai kondisi seperti apa yang ingin dicapai oleh ekonomi
Islam, penulis menyebutnya, โMenuju keseimbangan yang Islami.โ
Diharapkan
dari makalah ini akan semakin terbuka pandanagn kita tentang sistem
perekonomian Islam serta teori, prinsip, dan parktiknya. Sistem ekonomi
Islam yang dikenal adil dan mampu menyejahterakan seluruh masyarakat
akan semakin mendekati kenyataan untuk diterapkan secara kafah dalam sistem perekonomian Indonesia khususnya, dan dunia pada umumnya.
Efisiensi Perekonomian: Analisis Pareto Optimum
Analisis Keseimbangan Umum
Dalam
literatur-literatur ekonomi mikro, pembahasan analisis pareto optimum
dilakukan dalam kerangka analisis keseimbangan umum (general equilibrium).
Analisis keseimbangan umum itu sendiri adalah penentuan keseimbangan
harga dan kuantitas antar-pasar yang secara simultan saling
mempengaruhi (Pindyck, 2001). Kondisi di dalam satu pasar
dapat mempengaryhi penetapan harga dan kuantitas keseimbangan pasar
lainnya. Hal itu dapat dikarenakan barang dari salah satu pasar
merupakan input dari pasar lainnya atau antara kedua pasar tersebut
terdapat hubungan saling substitusi atau komplementer. Jadi, dalam
analisis keseimbangan umum tidak hanya dilakukan analisis pencapaian
keseimbangan, harga dan kuantitas, suatu pasar barang atau jasa tetapi
juga efeknya terhadap keseimbangan di pasar lainnya. Atau dalam kata
lain, analisis keseimbangan umum adalah penggabungan analisis
keseimbangan parsial[1] antara suatu pasar dengan pasar lainnya.
Dalam
analisis keseimbangan umum biasanya dilakukan analisis ketergantungan
dua pasar yang saling berhubungan erat. Analisis ketergantungan dua
pasar ini akan memberikan dasar bagi perekonomian pertukaran yang
menjadi pijakan analisis pareto optimum.
Efisiensi dalam Ekonomi Pertukaran
Dalam
pasar persaingan sempurna dikatakan efisien jika telah memaksimasi
surplus konsumen dan produsen. Untuk lebih memahami konsep efisiansi
ekonomi dimulai dengan pemahaman tentang perekonomian pertukaran.
Ekonomi pertukaran menganalisis perilaku dua orang individu dalam
suatu pasar yang saling melakukan perdagangan/pertukaran kedua barang
yang dimilikinya. (Analisis ini dapat juga digunakan untuk menganaisis
perdagangan du negara.) Masing-masing individu dalm pasar pertukaran
tersebut memiliki keunggulan modal awal (endowment) yang berbeda satu sama lain. Misalnya, endowment
individu 1 lebih banyak pada barang 1 sedangkan individu 2 memiliki
lebih banyak barang 2. Kondisi tersebut akan memacu masing-masing
individu untuk membuat dirinya better-off dengan melakukan
perdagangan barang 1 dan 2. Pertukaran tersebut akan berakhir pada
kondisi alokasi yang efisien, dimana tidak dapat lagi suatu individu
menambah utility-nya terhadap suatu barang (better-off) tanpa membuat utility individu lainnya dirugikan (worse-off). Kondisi inilah yang disebut sebagai kondisi pareto optimum.
Jadi dalam ekonomi pertukaran, perdagangan antara individu satu dengan lainnya akan membuat masing-masing individu better-off sampai kondisi pareto optimum. Analisis efisiensi dalam ekonomi pertukaran didasarkan kepada dua asumsi dasar, yaitu:
1. Kedua individu mengetahui preferensi satu sama lain
2. Pertukaran barang costless
Secara matematis ekonomi pertukaran merupakan fungsi dari utilitas, barang yang diperdagangkan dan endowment masing-masing individu.
ฮ = kumpulan individu = {uij,xij,wij,i=1,2;j=1,2}
dimana i adalah individu yang dalam kasus ini terdiri dari dua orang dan j adalah jumalh barang, dalam kasus ini terdiri dari dua barang. Variabel u menunjukkan utilitas masing-masing individu terhadap barang j. Variabel x menunjukkan barang yang akan diperdagangkan dalam ekonomi pertukaran tersebut dan w menunjukkan endowment pada awal sebelum ada perdagangan yang dimiliki oleh masing-masing individu.
Kotak Edgeworth
Kotak
Edgeworth digunakan sebagai alat analisis efisiensi dalam ekonomi
pertukaran. Dalam kotak Edgeworth menunjukkna semua kemungkinan alokasi
kedua barang yang diperdagangkan antara kedua individu atau, dalam
konteks produksi, menunjukkan alokasi kedua input (faktor produksi)
antara dua proses produksi (Pindyck, 2001).
Dalam analisis kotak Edgeworth masing-masing individu memiliki endowment yang
berbeda sastu sama lain yang memungkinkan terjadinya pertukaran.
Misalnya, dalam pasar makanan (pangan) dan pakaian (sandang) individu 1
memiliki endowment 7 pakaian (C) dan 1 makanan (F) sedangkan individu 2 memiliki endowment
3 pakaian (C) dan 5 makanan (F). Karena ada keunggulan komparatif dari
masing-masing individu maka akan terjadi perdagangan, individu 1 akan
mengurangi jumlah pakaiannya untuk menambah jumlah makanannya,
begitupun sebaliknya. Hingga akhirnya tercipta suatu keseimbangan
utilitas baru yang efisien. Perhatikan gambar kotak Edegeworth berikut
ini (Gambar 1)!
Sebenarnya kotak Edgeworth merupakan gabungan antara fungsi utilitas dan indifference curve
dari dua individu yang berinteraksi dalam ekonomi pertukaran. Dalam
kotak Edgeworth akan tercapai alokasi yang efisien (pareto optimum)
jika indifference curve individu 1 dan 2 akan saling bersinggungan di satu titik (Gambar 2). Persinggungan antara indifference curve
individu 1 dan 2 tidak hanya dapat terjadi di satu titik saja melainkan
dapat terjadi di titik-titik lain yang juga pareto efisien bagi kedua
individu. Untuk menetapkan titik mana yang menjadi alokasi efisien dari
kedua individu sangat tergantung kepada fungsi utilitas dari
masing-masing individu dan kemampuan masing-masing individu untuk
melakukan penawaran agar mendapatkan alokasi efisien yang lebih
memuaskan. Gabungan titik-tik yang menunjukkan alokasi efisien dari
keua individu membentuk suatu kurva yang disebut Contract curve.
(Gambar 3) Alokasi-alokasi yang ditunjukkan pada gambar 3 merupakan
alokasi yang efisien meskipun terdapat komposisi makanan dan pakaian
yang berbeda, karena di titik-titik tersebut utilitas satu individu
tidak dapat lagi ditambah tanpa mengurangi utilitas individu lainnya
(pareto optimum).
Sistem Ekonomi Islam: Prinsip-prinsip
Sistem
ekonomi Islam โ sesuai dengan namanya โ adalah suatu sistem ekonomi
yang berdasarkan nilai-nilai Islam, dalam hal ini Al-Quran dan Al-Hadis
sebagai sumber utamanya. Para pemikir ekonomi Islam banyak yang mencoba
mendefinisikan ilmu ekonomi Islam dengan lebih khusus lagi. Umer
Chapra, salah seorang pemikir modern ekonomi Islam, mendefinisikan
ekonomi Islam sebagai, โcabang ilmu pengetahuan yang membantu
mewujudkan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi
sumber-sumber daya yang langka yang sesuai dengan magashid, tanpa
mengekang kebebasan individu secara berlebihan, menimbulkan
ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi, atau melemahkan keluarga
dan solidaritas sosial dan jalinan moral dari masyarakat.โ[2]
Sedangkan, M.A. Mannan mendefinisikannya, โโฆilmu pengetahuan sosial
yang mempelajari masalah ekonomi dari orang-orang yang memiliki nilai
Islam.โ[3]
Sistem
ekonomi Islam bukanlah suatu sistem yang setengah-setengah. Artinya
sistem ekonomi Islam tidak hanya menunjukkan bagaimana cara untuk
melakukan kegiatan perekonomian agar menguntungkan pelaku ekonomi
tersebut, tetapi juga prinsip-prinsip Islami yang melandasi setiap
kegiatan ekonomi yang dilakukan para pelaku ekonomi. Prinsip-prinsip
relijius itu menjadi faktor yang amat penting karena berlandaskan
ajaran dan prinsip Islam-lah sistem ekonomi Islam dibangun. Jadi Islam
sebagai agama tidak hanya mengatur masalah tauhid, ibadah, dan akhlaq,
tetapi juga muamalah atau implementasi ajaran Islam dalam setiap
sendi-sendi kehidupan. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam, yang dibawa
Nabi Muhammad SAW, sebagai rahmat kepada alam semesta ini dan tujuan
umat muslim agar selamat dunia โ akhirat.
Oleh
karena itu, dalam mencari kemakmuran dan nafkah di dunia ini, melalui
kegiatan ekonomi, umat Islam harus memperhatikan syariah yang telah
digariskan Al-Quran dan Al-Hadis. Islam tidak mencegah orang untuk
menjadi kaya berkat usahanya, namun perlu diingat dalam mencapai
kekayaan tersebut haruslah sesuai dengan syariah Islam dan menimbun
kekayaan serta menghambur-hamburkan uang bukanlah perbuatan yang
Islami. Islam juga mengajarkan bahwa dalam setiap kekayaan umat Islam
ada sebagian yang dimiliki umat Islam. Hal ini menjamin kepemilikan
pribadi namun di sis lain juga menjamin terjadinya distribusi
pendapatan yang merata. Hal ini yang tidak ditemukan dalam sistem
ekonomi lain, baik kapitalis atau sosialis.
Secara umum dan ringkas, sistem ekonomi Islam dibangun atas prinsip-prinsip berikut:[4]
1. Alam ini mutlak milik Allah SWT
โKepunyaan-Nya-lah
semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, semua yang di antara
keduanya dan semua yang di bawah tanah.โ
(QS. Thoha: 6)
2. Alam merupakan nikmat karunia Allah yang diperuntukkan bagi manusia untuk dimanfaatkan
โTidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang di langit dan di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan batinโฆโ (QS Luqman: 20)
3. Alam karunia Allah ini untuk dinikmati dan dimanfaatkan dengan tidak melampaui batas-batas ketentuan
โโฆpakailah
pakaianmu yang indah di setiap majid, makan dan minumlah dan jangan
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.โ (QS. Al-Aโraf: 31)
4.
Hak milik perseorangan diakui sebagai hasil jerih payah usaha yang
halal dan hanya boleh dipergunakan untuk hal-hal yang halal pula.
โHai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk
kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan
darinya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memicingkan mata terhadapnyaโฆโ (QS Al-Baqarah: 267)
5. Allah melarang menimbun kekayaan tanpa ada manfaat bagi sesama manusia
โโฆDan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di
jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih.โ (QS At-Taubah: 34)
6. Di dalam hata orang kaya itu terdapat hak orang miskin, fakir, dan lain sebagainya
โDan pada harta-harat mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.โ (QS Adz-Dzariyat: 19)
Berangkat
dari prinsip-prinsip Islam tersebut sistem ekonomi Islam di-rancang
bangun. Bandingkanlah dengan sistem ekonomi kapitalis yang berprinsip
berkorban sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya. Prinsip ekonomi demikian, dipergunakan oleh pedagang
dan pengusaha yang mencari keuntungan, serta konsumen untuk mendapatkan
sisa guna sebesar-besarnya melebihi biaya yang dikeluarkan dan
kemampuannya. Prinsip ekonomi kapitalis pada akhirnya cenderung
menyebabkan seseorang untuk berlaku rakus dan tamak terhdap pencarian
keuntungan dan pemenuhan kebutuhan. Pada tataran seperti inilah sistem
ekonomi kapitalis dibangun. Termasuk analisis keseimbangan pareto
optimum.
Dalam
analisis kesimbangan alokasi efisien individu atau perusahaaan akan
efisien jika sudah memaksimalisasi utilitas (atau faktor produksi)-nya.
Padahal menurut sistem ekonomi Islam manusia dituntut untuk tidak
mengkonsumsi dan mengeksploitasi nikmat Allah dengan berlebihan. Jadi,
penerapan analisis alokasi efisiensi pareto, yang dibangun dari funsi
utilitas (indifference curve) dan production possibility curve function, akan menyebabkan kerusakan di muka bumi ini.
Maqashid Syariah
Seperti
yang telah diketahui bahwa ilmu ekonomi kapitalis (konvensional)
bertujuan terutama dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi, secara makro,
yang ditunjukkan dengan besaran pendapatan perkapita (PDB/populasi).
Sedangkan secara mikro para pelaku ekonomi mengejar maksimal utilitas,
untuk konsumen, dan maksimal laba, untuk produsen. Titik berat dari
tujuan ekonomi konvensional tersebut adalah peningkatan kekayaan yang
akan terwujud bila para pelaku ekonomi bersaing dalam pasar persaingan
sempurna. Tujuan ekonomi yang hanya mengejar kekayaan semata akan
membuat individu semakin kehilangan sisi sosialnya sebagai manusia.
Atau Chapra menyebutnya sebagai keruntuhan solidaritas keluarga dan
sosial. Nilai-nilai inilah yang menjadikan sistem ekonomi konvesional
tidak sesuai dengan ajaran agama Islam sehingga keselamatan di dunia
dan akhirat tidak lagi dapat terwujud.
Maqashid
syariah adalah rumusan tujuan ekonomi Islam yang sesuai dengan syariat
agama Islam. Jika kita menganut kepada maqashid syariah sebagai tujuan
dari perekonomian, maka kesejahteraan yang diidam-idamkan sebagai
keberhasilan perekonomian senantiasa akan tercapai.
Menurut
Al-Ghazali: โTujuan dari Syariah adalah meningkatkan kesejahteraan
seluruh manusia, yang terletak pada perlindungan keimanan (dien)
mereka, manusia (nafs), akal mereka (aqal) keturunan mereka (nasl), dan
kekayaan mereka (maal). Apapun yang menjamin perlindungan kelima ini
menjamin kepentingan publik dan merupakan hal yang diinginkan.โ[5] Urutan maqashid seperti ini sudah disahkan dan disetujui oleh sebagian besar fuqaha.
Keimanan
ditempatkan di urutan pertama karena memberikan cara pandang dunia yang
cenderung mempengaruhi kepribadian โ yaitu perilaku, gaya hidup, selera
dan preferensi manusia, dan sikap-sikap terhadap manusia, sumber daya
dan lingkungan.[6]
Keimanan memang menjadi faktor terpenting dari sistem ekonomi Islam
karena sistem ekonomi Islam yang besar dan teratur didirikan dengan
prinsip relijius sebagai fondasinya. Oleh karena itu segala sesuatu
yang dilakukan dalam sistem ekonomi Islam harus merupakan ibadah, atau
bernilai ibadah. Selain itu dengan iman sebagai tujuan ditetapkan dalam
hati, maka perekonomian akan berjalan pada jalur yang benar, yaitu
sesuai dengan syariat Islam.
Kekayaan
ditempatkan di belakang, bukan karena kurang penting tetapi jika
kekayaan itu ditempatkan paling atas sebagai tujuan dari perekonomian,
ini akan meningkatkan ketidakadilan dan memperkuat kesenjangan,
ketidakseimbangan dan ekses., yang pada akhirnya dapat mengurangi
kesejahtetraan generasi sekarang maupun yang akan datang. Keimananlah
yang membantu menimbulkan disiplin dan arti di dalam mencari dan
membelanjakan harta, dan dengan demikian memungkinkannya berfungsi
secara efektif.
Tiga
tujuan yang di tengah (jiwa manusia, akal dan keturunan) berhubungan
dengan manusia itu sendiri, yang kesejahteraannya merupakan tujuan
utama dari perekonomian syariah. Ini mencakup kebutuhan fisik maupun
moral, psikologi dan akal untuk generasi sekarang dan akan datang.
Berangkat
dari tujuan itulah ekonomi syariah dirancang dan dilaksanakan. Sungguh
sangat terlihat bahwa sistem ekonomi Islam benar-benar meliputi segala
aspek kehidupan yang jelas berkaitan ke dalam perekonomian. Sistem
ekonomi Islam mendahulukan keimanan sebagai tujuan agar dapat
benar-benatr dicapai masyarakat yang sejahtera dan adil, ditambah
campur tangan pemerintah dalam menjamin tercapainya masyarakat yang
sejahtera. Namun demikian faktor manusia dan kekayaan sebagai obyek
perekonomian tetap diperhitungkan.
Oleh
karena itu kesejahteraan ekonomi konvensional yang hanya bertumpu
kepada efisiensi pareto tidak dapat dijadikan tujuan dari perekonomian.
Karena pareto efisien hanya melihat satu sisi saja dari kesejahteraan.
Selain itu Pareto efisien juga tidak memberiakn suatu alokasi yang
menjamin keadilan bagi seluruh masyarakat. Dalam bagian berikutnya dari
makalah ini akan ditunjukkan mengapa pareto efisien gagal menjadi suatu
indikator yang menunjukkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat.
Yang kemudian akan dilanjutkan dengan pembahasan optimum Islami menurut
Dr. Chapra.
Kegagalan Konsep Pareto Optimum
Demikian
telah dijelaskan panjang lebar tentang konsep Pareto Optimum dari
sistem ekonomi konvensional dan prinsip-prinsip dalam sistem ekonomi
Islam. Apabila kita cermati maka konsep pareto efisien memang bertolak
belakang dengan pandangan ekonomi Islam dalam mencapai kesejahteraan
dalam perekonomian. Ekonomi Islam sebagai ilmu ekonomi yang kafah memandang banyak sekali kekurangan pada penerapan konsep pareto optimum sebagai kondisi efisien dalam perekonomian.
Pada
konsep pareto optimum sebenarnya banyak sekali ditemukan ketidakadilan.
Hal ini dikarenakan titik berat pareto optimum yang hanya menekankan
pada efisiensi perekonomian. Efisiensi dalam perekonomian konvensional
hanya bertujuan untuk memaksimalkan surplus konsumen dan produsen.
Ketidakadilan dalam pareto optimum itu akan menyebabkan kita menerima
sesuatu yang salah, maksudnya alokasi efisiensi dalam masyarakat yang
tidak adil sekalipun (lebarnya kesenjangan mayarakat yang terjadi) akan
diterima oleh pembuat kebijakan sebagai sesuatu yang positif karena
sudah sesuai dengan efisiensi pareto. Intinya konsep pareto optimum
tidak akan menjamin keadilan tercipta dalam masyarakat, efisiensi tanpa
keadilan tidak akan mencapai kesejahteraan justru hanya akan
memperlebar kesenjangan dalam masyarakat.
Mengapa
hal itu bisa terjadi? Kesalahan sebenarnya terletak dari perumusan
konsep pareto efisien itu sendiri dan proses analisis nya dalam kotak
Edgeworth. Pada analisis contract curve dalam kotak Edgeworth, dijelaskan bahwa sepanjang contract curve
alokasi sumber daya akan selalu efisien. Ini suatu pernyataan yang
sangat tidak adil karena dengan begitu kita bisa saja mengambil titik
pada contract curve yang memberikan alokasi terbesar hanya
kepada satu pihak yang diinginkan dengan begitu pihak lain akan
mendapatkan alokasi sumber daya yang sangat kecil. Namun menurut konsep
pareto optimum kondisi seperti itu sudah terbaik dalam perekonomian
karena sudah mencapai titik alokasi sumber daya yang terbaik. Pihak
yang mendapatkan alokasi terkecil pun dianggap sudah mencapai alokasi
sumber daya terbaiknya dan tidak dapat menaikkan utilitasnya, yang
sangat kecil itu, karena jika dinaikkan akan membuat pihak lain, yang
utilitasnya sangat besar, menjadi worse-off dan berakibat
pada terganggunya efisiensi perekonomian konvensional. Hal ini jelas
menunjukkan ketidakadilan terhadap masyarakat kecil (miskin).
Kelemahan pareto optimum lainnya adalah ketidakmampuan konsep efisiensi alokasi menentukan pada contract curve, alokasi efisien mana yang akan memberikan hasil terbaik bagi masyarakat. Pareto optimum hanya menjelaskan bahwa sepanjang contract curve
alokasi pada perekonomian perdagangan akan selalu efisien dan ekonomi
harus mencapai efisiensinya. Oleh karena itu jika kita hanya mengacu
pada sistem pareto optimum dari ekonomi konvensional ini, efisiensi
yang akan terjadi dalam perekonomian belum tentu memberikan keadilan
pada seluruh masyarakat.
Masih ada lagi kesalahan dari pareto optimum yaitu masalah endowment dari masing-masing phak. Dalam literatur mikroekonomi konvensional seringkali diperlihatkan endowment
yang sama dan seimbang antara kedua pihak yang terlibat dalam ekonomi
pertukaran. Lalu ekonomi pertukaran sama-sama memberikan hasil yang
lebih baik bagi kedua pihak tersebut (alokasi efisisen antara kedua
individu seimbang di tengah-tengah kotak Edgeworth). Padahal dalam
kenyataannya ekonomi pertukaran justru seringkali terjadi antara
masyarakat dengan modal besar dan masyarakat modal kecil. Dengan
perbedaan endowment, yang sangat mungkin mencolok, itu
ekonomi pertukaran akan memberikan manfaat lebih besar kepada pihak
dengan modal awal yang lebih besar (orang kaya) dan tidak akan
memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat dengan endowment yang
lebih kecil, kalau tidak boleh dibilang merugikan masyarakat kecil.
Akhirnya kesejahteraan kepada seluruh masyarakat tidak akan terjadi
karena yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin (memperlebar
jurang kesenjangan sosial).
Selain
itu konsep pareto potimum berdiri di atas asumsi yang sangat rentan dan
sulit terjadi dalam kehidupan nyata. Pertama, asumsi kedua pihak dalam
perekonomian pertukaran saling mengetahui preferensi satu sama lain.
Hal ini amat sulit terjadi karena pada kenyataannya informasi di pasar
tidak asimetris. Kedua, biaya pertukaran barang yang tidak ada. Asumsi
kedua ini juga pada kenyataannya sulit dicapai.
Dalam
(Chapra, 2001), diterangkan bahwa berkaitan dengan konsep pareto
optimum ini para ulama telah menjabarkan beberapa kaidah fikih yang
dapat digunakan untuk mencapai kesejahteraan dalam perekonomian, dalam
keadaan yang adil dan seimbang. Beberapa pandangan menurut syarioat
Islam antara lain:
ยง Pengorbanan
atau kerugian pribadi mungkindiharuskan untuk mengamankan pengorbanan
atau kerugian publik, dan manfaat yang lebih kecil harus dikorbankan
demi merealisasi manffat yang lebih besar
ยง Kerugian
yang lebih besar mungkin dapat dicegah dengan kerugian yang lebih
kecil. Kepentingan mayoritas yang lebih besar harus diutamakan daripada
kepentingan minoritas yang lebih kecil; kepentingan publik lebih utama
daripada kepentingan pribadi
ยง Menghilangkan susah dan penderitaan harus lebih diutamakan daripada upaya untuk meraih manfaat
ยง Penderitaan harus dihilangkan sedapat mungkin
Jelas
sudah bahwa dalam syariat Islam dan kaidah-kaidah fikih pareto optimum
sangat berlawanan sehingga konsep tersebut tidak mendapat tempat dalam
sistem ekonomi Islam. Namun perlu diingat hal ini bukan berarti konsep
efisiensi tidak diakui. Efisiensi dalam Islam lebih merupakan pemahaman
untuk berusaha meraih hasil yang terbaik.
Daftar Pustaka
Al-Quran
Chapra, M. Umer. The Future of Economics: An Islamic Perspective, terj. Jakarta: SEBI, 2001
Departemen Agama RI. Islam untuk Disiplin Ilmu Ekonomi. Jakarta: Departemen Agama RI, 2002
Karim, Adiwaraman, Ir., SE, MA. Ekonomi Mikro Islami Ed. II. Jakarta: IIIT Indonesia, 2003
Nasution, Mustafa E. Beberapa Pemikiran tentang Keuangan Publik Islam. Jurnal Mini Economica Edisi 34 thn. 2004
Pindyck, Robert S. dan Daniel L. Rubinfeld. Microeconomics 5th Ed. New Jersey: Prentice-Hall Inc., 2001
[1]
Analisis keseimbangan parsial adalah penentuan keseimbangan harga dan
kuantitas produk di suatu pasar, dengan mengabaikan efek dari dan
terhadap pasar produk lainnya. (Pindyck, 2001)
[2] M. Umer Chapra,The Future of Economics: An Islamic Perspective, terj., (Jakarta: SEBI, 2001) hlm. 131
[3] Ibid.,hlm. 146
[4] Tim Depag RI, Islam untuk Disiplin Ilmu Ekonomi, (Jakarta: Depag RI, 2002) hlm.26-31)
[5] Chapra, Op. cit., hlm. 124
[6] Ibid., hlm. 125
Comments