Akad dalam Islam
TELAโAH HADIST
TENTANG AKAD (PERJANJIAN) DALAM HUKUM BISNIS ISLAM
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak
awal โ70-an gerakan Islam ditingkat nasional telah memasuki bidang ekonomi
dengan diperkenalkannya sistem ekonomi Islam, sebagai alternatif terhadap
sistem kapitalis dan sistem sosialis. Wacana sistem ekonomi Islam itu diawali
dengan konsep ekonomi dan bisnis non ribawi.
Sebenarnya sistem ekonomi Islam itu mencakup semua aspek ekonomi
sebagaimana telah dirumuskan secara komprehensif oleh Umer Chappra dalam
bukunya โThe Future of Economics an Islamic Perspectiveโ, yang menjelaskan
bahwa:
โIlmu yang memberikan kontribusi langsung dan tidak langsung terhadaprealisasi
kesejahteraan manusia, tetap berkonsentrasi pada aspek alokasi dan distribusi
sumber-sumber daya dengan tujuan utama
untuk merealisasikan Maqoshidusy syarโiah.
Ilmu ekonomi Islam pada prinsipnya sama dengan ekonomi konvensional,
namun yang mendasar perbedaannya terletak pada pertimbangan sosial kemanusiaan
sesuai komitmen syariah Islam. Sementara pada ekonomi konvensional hanya
bermuara pada upaya pemenuhan kebutuhan material seperti halnya dengan ekonomi
kapitalisโ.[1]
Namun,
dewasa ini terkesan bahwa ekonomi Islam itu identik dengan konsep tentang
sistem keuangan dan perbankan.
Kecenderungan ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: Pertama, petunjuk
Allah dalam al-Qurโan dan sunnah yang paling menonjol, sebagaimana yang dilihat
oleh bahkan menjadi perhatian utama para ulamaโ dan cendekiawan muslim, yang
juga termasuk doktrin transaksi non ribawi. (larangan praktek riba). Kedua:
peristiwa krisis minyak pada tahun 1974 dan 1979, yang menimbulkan kekuatan
financial berupa petro dollar pada Negara-negara dikawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk juga Indonesia,
Malaysia, dan Brunei di Asia Tenggara. Melihat gejala itulah, kemudian
timbullah pemikiran untuk โmemutarโ dana petro-dollar tersebut melalui lembaga
keuangan syariah.[2]
Salah
satu Kecenderungan para Ilmuan Islam ini dipengaruhi oleh Hadist atau sunnah
dalam menentukan suatu hukum atau memecahkan suatu masalah, maka dalam Makalah
ini, sedikit memahami Hadist yang berhubungan dengan Muamalah terutama tentang
perjanjian atau akad karena Hadist merupakan sumber Hukum Agama Islam
yang ke-dua setelah al-Qurโan, hampir seluruh ummat islam telah sepakat
menetapkan Hadist sebagai salah satu undang-undang yang wajib ditaati, baik
berdasarkan petunjuk akal, petunjuk nash-nash Al-Qurโan maupun Ijmaโ para
sahabat. kedudukannya sebagai Sumber Hukum dan disertai ragam kualitas
periwayatannya, sangat perpengaruh terhadap hasil ijtihad para ulama
mujtahid di dalam menggali hukum. Setiap orang yang mendalami madhab-madhab
fiqih, maka akan mengetahui betaba besar pengaruh Hadist di dalam penetapan
hukum-hukum fiqihiyah. Tak heran jika kemudian para intelektual Muslim ataupun
Barat (Orientalis) terutama perdebatan mereka tentang keotentikan Hadist nabi.
Dan juga para ulama mulai dari para sahabat sampai ulama zaman sekarang
sangat bersungguh-sunguh dalam mengkaji hadist baik tentang periwayatanya ataupun
memahami isi kandungnganya dari ragam sudut pandang ilmu pengetahuan, seperti
ilmu fiqih, aqidah, akhlaq, tafsir dll. Mengingat posisinya yang sangat peting,
mengetahui argumen kehujahan Hadist adalah suatu keniscayaan, khususnya bagi
orang yang agama islam. Argumen tersebut dapat kita temukan di dalam al-Quran,
as-Sunah sendiri, dan argumen rasional.
Menurut akal, beliau
Nabi Muhammad Sholallohuโalaihi wa sallam, adalah sebagai Rosul Allah yang
telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam malaksanakan tugas agama,
yaitu menyampaikan hukum-hukum syariโat kepada seluruh umat, kadang-kadang
beliau membawakan peraturan-peraturan yang isi dan redaksi peraturan itu telah
diterima dari Alloh Shubhanabu wa taโala, dan kadang-kadang beliau membawakan
peraturan-peraturan hasil cipataan sendiri atas bimbingan ilham dari Alloh. Dan
tidak jarang pula beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu
masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu atau dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad
beliau ini terus berlaku sampai ada nash yang menasakhkannya. Sudah layak
sekali kalau peraturan-peraturan dan insisiatif-inisiatif beliau, baik yang
beliau ciptakan atas bimbingan ilham, maupun hasil ijtihad beliau, kita
tepatkan sebagai sumber hukum positif. Kepercanyaan yang telah kita berikan
kepada beliau sebagai utusan Alloh mengharuskan kepada kita untuk menaati
sebagai peraturan yang dibawanya
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diurikan di atas,
ternyata perlu sekali kita mempelajari Hadist dalam menentukan suatu
kebijakan dalam Islam sesuai bimbingan Beliau Rosululloh Sholallohu โalaihi
wasallam.
Maka
dalam makalah ini ingin memahi lebih dalam tentang hadist dalam masalah Akad
atau perjanjian yang sesuai dengan Syariah
islam. Dan juga akada alam
islam. Adapun dalam makalah ini insya Allah akan penulis bahas diantaranya
sebagai berikut :
a.
Hadist tentang Akad dalam Hukum Bisnis Islam.
b.
Penjelasan Akad dan Aplikasi Fiqhnya
c.
Kasus Akad Bisnis Onlene
C.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Pesan
PEMBAHASANTELAโAH HADIST
TENTANG AKAD (PERJANJIAN) DALAM HUKUM BISNIS ISLAM
1.
Hadist tentang Akad dalam Hukum Bisnis Islam
Hadist yang menerangkan
tentang Akad sebagai berikut :
2111 -ุญูุฏููุซูููุง ุนูุจูุฏู
ุงูููู ุจููู ูููุณููู ุ ุฃูุฎูุจูุฑูููุง ู
ูุงูููู ุ ุนููู ููุงููุนู ุ ุนููู ุนูุจูุฏู ุงูููู
ุจููู ุนูู
ูุฑู ุ ุฑูุถููู ุงูููููู ุนูููููู
ูุง ุฃูููู ุฑูุณูููู ุงูููู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ููุงูู : ุงููู
ูุชูุจูุงููุนูุงูู ููููู ููุงุญูุฏู ู
ูููููู
ูุง ุจูุงููุฎูููุงุฑู ุนูููู ุตูุงุญูุจููู
ู
ูุง ููู
ู ููุชูููุฑููููุง ุฅููุงูู ุจูููุนู ุงููุฎูููุงุฑู.(ุฃุฎุฑุฌู ุงูุจุฎุงุฑู ูู
ุณูู
)[3]
Hadist
dari Abdullah bin Yusuf, beliau mendapatkan hadist dari Malik dan beliau
mendapatkan Hadist dari Nafiโ dari Abdullah bin Umar Rodliyallohu โanhuma.
Sesungguhnya Rosulalloh Sholallohu โalaihi wasallam bersabda :โDua orang
yang jual beli, masing-masing dari keduanya boleh melakukan khiyar atas lainnya
selama keduanya belum berpisah kecuali jual beli khiyar.โ (HR Bukhori dan
Muslim).
2.
Penjelasan Akad dan Aplikasi Fiqhnya
A.
Pengertian Akad
Pengertian akad dalam Kamus Besar bahasa
Indonesia adalah janji,perjanjian,kontrak.[4]
Akad secara bahasa adalah
ikatan,mengikat. Dikatakan ikatan (al rabth) maksudnya adalah
menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali
dan mengikatkan salah satunya
pada yang lainnya hingga keduanya
bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.[5] Sebagaimana
pengertian akad adalah perjanjian, istilah yang berhubungan dengan
perjanjian di dalam Al Qurโan setidaknya ada 2 istilah yaitu al โaqdu (akad) dan al โahdu (janji).[6]
Istilah al โ aqdu terdapat dalam Surat Al Maidah ayat 1 , bahwa dalam
ayat ini ada kata bilโuqud dimana
terbentuk dari hurf jar ba dan kata al โuqud atau bentuk jamak taksir dari kata alโaqdu
oleh team penerjemah Departemen Agama RI
di artikan perjanjian (akad).[7]
Sedangkan kata al โahdu terdapat dalam Surat Ali Imron ayat 76 ,
bahwa dalam ayat ini ada kata biโahdihi
dimana terbentuk dari huruf jar bi, kata alโahdi dan hi yakni
dhomir atau kata ganti dalam hal ini yang kita bahas kata al โahdioleh
Team penerjamah departemen Agama RI di artikan janji.[8]Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al โaqdu ini dapat disamakan dengan istilah
verbintenis dalam KUHPerdata.[9]
Sedangkan istilah al โahdu bisa
disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan
dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak
berkaitan dengan orang lain.[10]
Kesepakatan Ahli Hukum
Islam(Jumhur Ulama) mendefinisikan akad
adalah suatu perikatan antara ijab dan qobul dengan cara yang di
benarkan syarโi yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya.[11]Menurut
Abdurrauf, al โaqdu (Perikatan Islam) bisa terjadi dengan melalui tiga tahap, yaitu :
1. Tahap Pertama : Al
โahdu (perjanjian) yaitu pernyataan
dari seseorang untuk melakukan sesuatu dan tidak untuk melakukan sesuatu dan tidak ada
sangkut pautnya dengan kemauan orang
lain. Syarat sahnya suatu al โahdu
(perjanjian) adalah:
a. Tidak menyalahi hukum
syariโah yang di sepakati adanya.
Maksudnya bahwa
perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu bukanlah perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan hukum syariโah, sebab
perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum syariโah adalah tidak sah,
dan dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk
menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain
apabila isi perjanjian itu merupakan perbuatan yang melawan hukum syariโah ,
maka perjanjian yang diadakan dengan sendirinya batal demi hukum.
Dasar Hukum tentang
kebatalan suatu perjanjian yang melawan
hukum ini dapat di rujuki ketentuan hukum
yang terdapat dalam hadist Rosululloh SAW hadist dari Jabir bin Abdullah
Rhodliyallohu โanhuma dalam kitab Syurutuhum Bainahumyang telah diriwayatkan
oleh Imam Bukhori.
ููููุงูู
ุฌูุงุจูุฑู ุจููู ุนูุจูุฏู ุงูููู ุ ุฑูุถููู ุงูููููู ุนูููููู
ูุง ููู ุงููู
ูููุงุชูุจู
ุดูุฑููุทูููู
ู ุจูููููููู
ู.ููููุงูู
ุงุจููู ุนูู
ูุฑู ุ ุฃููู ุนูู
ูุฑู ููููู ุดูุฑูุทู ุฎูุงูููู ููุชูุงุจู ุงูููู ูููููู ุจูุงุทููู
ููุฅููู ุงุดูุชูุฑูุทู ู
ูุฆูุฉู ุดูุฑูุทู.[12]
โSegala bentuk
persyaratan yang tidak ada dalam Kitab Allah ( Hukum Allah) adalah batal,
sekalipun sejuta syaratโ (HR Bukhori )โ
b. Harus sama ridho dan
ada pilihan
Maksudnya akad yang di
adakan oleh para pihak haruslah di dasarkan kepada kesepakatan kedua belah
pihak, yaitu masing-masing pihak ridho/rela akan isi akad tersebut, atau dengan
perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak. Dalamhal ini
berarti tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain,
dengan sendirinyaakad yang diadakan
tidak tidak didasarkan kepada mengadakan perjanjian.
c. Harus Jelas dan
Gamblang
Maksudnya apa yang
diperjanjikan oleh para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi akad,
sehingga tidak mengakibatkan terjadinya
kesalahpahaman di antara para pihak tentang apa yang telah mereka
perjanjikan di kemudian hari.[13]
2. Tahap Kedua :
Persetujuan pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak
pertama. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.
3. Tahap Ketiga : Al โaqdu
(akad/perikatan Islam) yaitu pelaksanaan dua buah janji tersebut.[14]
Terjadinya suatu perikatan Islam (al โaqdu)
ini tidak terlalu jauh berbeda dengan terjadinya perikatan yang di dasarkan dengan Buku III KUHPerdata, Yang
mana definisi Hukum Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta
kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas
sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.[15]
Sedangkan Pengertian
Perjanjian adalah suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan nama satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.[16]Perbedaan
antara perikatan Islam(Akad) dengan Perikatan KUHPerdata adalah dalam
tahapan perjanjiannya dimana dalam hukum
Perikatan Islam (Akad) janji Pihak Pertama dan Pihak Kedua terpisah atau
dua tahap sedangkan dalam KUHPerdata hanya satu tahap setelah ada perjanjian maka timbulperikatan.
Perbedaan antara
perikatan Islam(Akad) dengan Perikatan KUHPerdata adalah dalam tahapan
perjanjiannya dimana dalam hukum
Perikatan Islam (Akad) janji Pihak Pertama dan Pihak Kedua terpisah atau
dua tahap sedangkan dalam KUHPerdata hanya satu tahap setelah ada perjanjian maka timbul perikatan.
B. Unsur-Unsur Akad
Definisi Akad menurut
jumhur ulama bahwa akad adalah suatu
perikatan antara ijab dan qobul dengan cara yang di benarkan syarโi
yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum
pada obyeknya dapat diperoleh tiga unsur yang terkandung dalam akad,
yaitu sebagai berikut :
1. Pertalian Ijab dan
Qobul
a. Ijab adalah pernyataan
kehendak oleh satu pihak (mujib) untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu.
b. Qobul adalah pernyataan
menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya (qobil).
Ijab dan Qobul ini harus ada dalam melaksanakan suatu
perikatan (akad)
2. Dibenarkan oleh syaraโ
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan
syariโah atau hal-hal yang diatur oleh Allah SWT dalam Al Qurโan dan
NabiMuhammad SAW dalam Al Hadist. Pelaksanaan akad, tujuan akad,maupun obyek akad
tidak boleh bertentangan dengan syariโah. Jika bertentangan,akan mengakibatkan akad itu tidak sah. Sebagai
contoh suatu perikatan(akad) yang mengandung riba atau obyek perikatan yang tidak halal (seperti minuman keras ) mengakibatkan
tidak sahnya suatu perikatan menurut Hukum Islam.
3. Mempunyai akibat hukum
terhadap obyeknya.
Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum (tasharruf).
Adanya akad menimbulkan akibat hukum
terhadap obyek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan
konsekuensi hak dan kewajiban yang
mengikat para pihak.[17]
C. Syarat โSyarat Akad
Definisi syarat adalah
ketentuan (peraturan,petunjuk) yang harus di indahkan dan dilakukan.[18]
Dalam syariโah Islam syarat di definisikan adalah sesuatu yang tergantung
padanya keberadaan hukum syarโi dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang
ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.[19]
Adapun syarat akad ada yang menyangkut rukun akad, ada yang menyangkut obyek akad,
dan ada yang menyangkut subyek akad.[20]
Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, suatu akad terbentuk dengan adanya empat
komponen yang harus di penuhi (syarat), yaitu :
1. Dua aqid yang di namakan
Tharafyil aqdi atau aqidain sebagai subyek perikatan/para
pihak (the contracting parties).
2. Mahallul aqdi (maโqud alaih) , yaitu sesuatu yang di akadkan
sebagai obyek perikatan ( the object
matter ).
3. Maudhuโal-Aqdi (ghayatul akad) yaitu cara maksud yang dituju
sebagai prestasi yang dilakukan (the subject matter)
D. Subyek Akad ( Al
โAqidain)
Subyek Akad (aqid)
dalam Hukum Perikatan Islam adalah sama dengan subyek
hukum pada umumnya yaitu pribadi-pribadi yang padanya terdapat ketentuan berupa
: pembebanan kewajiban dan perolehan hak.[22]
Subyek Hukum ini terdiri dari dua macam
yaitu manusia dan badan hukum kaitannya dengan ketentuan dalam
hukum Islam.[23]
Pada kehidupanseseorang,
ada tahapan untuk dapat melihat apakah seseorang telah dapat dibebani hukum.
.Dalam Hukum Islam,kapasitas hukum seseorang dapat dilihat dari tahapan โ
tahapan dalam kehidupannya (the stages of legal capacity).Menurut Abdurrahman
Raden Aji Haqqi, para ahli Ushul Fiqih telah membagi kapasitas hukum
seseorang ke dalam 4 ( empat ) tahap
Subjek Hukum (Stages of Legal
Capacity ).[24]
Adapun ke-empat tahap itu adalah : Marhalah al-Janin, Marhalah al-Saba,
Marhalah al-Tamyiz, danMarhalah al-Bulugh.dan jugaDaur al- Rushd.
Di antara fuqaha (ahli
hukum Islam) telah merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang
sebagai aqid yaitu : Aqil, Tamyiz, dan
Muhktar.
E. Obyek Akad (Mahallul
โAqdi)
Mahalllul โaqdi adalah benda yang berlaku padanya hukum akad, atau disebut juga sebagian
sesuatu yang menjadi objek perikatan dalam istilah Hukum Perdata. Misalnya benda-benda yang
dijual dalam akad jual beli (al buyuโ/bai)atau hutang yang dijamin
seseorang dalam akad. Dalam hal ini hanya benda-benda yang halal dan bersih (dari
najis dan maksiat) yang boleh menjadi objek perikatan. Sehingga menurut fikih
jual beli buku โ buku ilmu sihir, anjing
, babi dan macan bahkan alat-alat musik (alat malahy) adalah tidak sah.
Adapun syarat โ syarat objek akad,yaitu : Halal menurut Syaraโ, Bermanfaat (
bukan merusak atau digunakan untuk merusak), dimiliki sendiri atau atas kuasa
si pemilik, Dapat diserah terimakan (berada dalam kekuasaan), dan Dengan harga
jelas.[25]
F. Prestasi Akad (Maudhuโu al-โAqdi)
Maudhuโu al- Aqdi ialah
tujuan akad atau maksud pokok mengadakan akad atau dalam istilah hukum
perikatan disebut Prestasi . Tujuan ini sesuai dengan jenis
akadnya,seperti: tujuan dalam jual beli ( buyuโ/baiโ) ialah menyerahkan barang
dari penjual kepada pembeli dengan ganti/bayaran (iwadh), dalam hibah ialah menyerahkan barang
kepada penerima hibah (Mauhub) tanpa ganti ( iwadh ) dan pada akad sewa (
Ijarah ) ialah memberikan manfaat dengan ganti (iwadh).
Dalam KUHPerdata hal
ini merupakan suatu prestasi (hal yang
dapat dituntut oleh satu pihak kepada pihak lainnya ),yang dirumuskan dengan
menyerahkan barang,melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Syarat-syarat
dari tujuan akad atau prestasi,yaitu: Baru ada pada saat dilaksanakan akad, Berlangsung
adanya hingga berakhirnya akad, dan Tujuan akad harus dibenarkan syara.
G. Rukun Akad
Rukun akad adalah Ijab dan
Qobul ( serah terima).Ijab dan Qobul dinamakan shihgatul โaqdi atau perkataan yang
menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak. Shighatul aqdi ini memerlukan
empat syarat:Jalaโul Maโna, Tawafuq, Jazmul Iradataini, dan Ittishal
al-kabul bil-ijab.
H. Jenis-Jenis Akad
Dalam Kitab-Kitab Fiqh terdapat banyak bentuk akad yang
kemudian dapat dikelompokkan dalam berbagai variasi jenis-jenis akad.
Mengenaipengelompokan jenis-jenis akad ini pun terdapat banyak variasi
penggolongannya. Namun yang berkaitan dengan kegiatan perbankan dan perasuransian syariah, menurut
Gemala Dewi secara garis besar ada pengelompokan jenis-jenis akad yaitu : Pertukaran, Titipan, Syarikat,
Memberi kepercayaan, Memberi Izin atau Tugas Kerja, Penyelesaian Sengketa, dan
Perlidungan atas Hak.
I.
Bentuk-Bentuk Akad
Mengenai bentuk-bentuk
akad yang dikenal sejak awal penerapan Hukum Islam di zaman Nabi Muhammad, para
ahli hukum Islam telah menuangkannyake dalam kitab-kitab fiqh. Tidak
terdapat kesamaan dalam pengelompokannya
dari para ahli hukum Islam tersebut
dalam mengklarifikasi bentuk-bentuk akad
ke dalam suatu kelompok. Masing-masing literatur menggunakan kriteria
tersendiri dalam menggolongkan berbagai macam bentuk akad tersebut ke dalam
satu kelompok tertentu.
Jumlah bentuk perikatan (akad) pada masing-masing
literaturpun berbeda-beda, dalam rentang antara 12 sampai 38 macam. Abdurrahman
Raden Aji haqqi, menggelompokkan ke 38 bentuk akad. Dari ke 38 bentuk akad
tersebut dapat kita kelompokkan seperti pada penjelasan sub bab jenis-jenis akad di atas tadi. Mengenai
masing-masing bentuk akad yang di kenal dalam kita-kitab fiqh tersebut dapat
dilihat penjabarannya di bawah ini.
Bentuk-Bentuk Akad Yang
di kenal dalam Fiqh yaitu :Jual Beli, Mudharabah, Al-Ijarah, Syirkah,
Hiwalah, Asy-Syufโah, Rahn atau gadai, โAriyah, Jiโalah, Shulhu, Luqathah,
Hibah, Sedekah (Shadaqah) dan Hadiah.
Ketika kita baca dalam
keterangan di atas ternyata banyak sekali dalam akad Mualah, dalam Islam yang
sesuai dengan Syaraโ. Maka Di dalam Hadist di atas penulis jelaskan bahwa
hadist diatas sebagai dasar para Fuqoha yang menyaratkan Khiyar majelis yang
dijadikan dasar dalam berhujjah, ini masalah perselisihan pendapat tentang
waktu terjadinya ikatan Jual Beli.
Menurut Maliki, Abu
Hanifah, dan para pengikut keduannya serta golongan Fuqoha Madinah, ikatan jual
beli terjadi dalam Majelis walaupun kedua belah pihak belum terpisah. Sedang
Syafiโi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnu Umar dari kalangan sahabat
mengatakan bahwa jual beli terjadi (sudah mengikat) dengan terjadinya pepisahan
dari majelis jika keduanya belum berpisah, maka jual beli tidak terjadi dan
tidak mengikat.[26]
Pendapat seperti ini
juga dikemukakan oleh Ibu Abi Dziโb dari golongan Fuqoha Madinah, Suwar
al-Qadhi, Ibnu Mubarok, Syuraih al-Qadhi, segolongan tabiiin, dan lainnya.
Pendapat tersebut juga diriwayatkan Ibnu Umar R.A dan Abu Barzah al-Aslami r.a
dari kalangan sehabat tanpa ada sahabat yang menentangnya.
Dalam Hadist di atas
juga ada hadits yang lain yaitu :
โKecuali salah
seorang di antara keduanya berkata kepada temannya, pilihlahโ.
Fuqoha yang berbeda
pendapat, mengemukakan alasan pendapat yang kacau dalam menolak pengunaan
hadist di atas. Dalam menolak hadist tersebut imam Malik berdasar pada alasan,
bahwa ia tidak menemukan penduduk madinah melakukan Khiyar Majelis. Dan juga
beliau berpendapat bahwa hadits tersebut bertentangan dengan Hadist Munqotiโ
yang diriwayatkannya dari Ibnu Masโud ia berkata :
ุฃูู
ุง
ุจูุนูู ุชุจุงูุนุง ูุงูููู ู
ุง ูุงู ุงูุจุงุฆุน ุฃู ูุชุฑุงุฏุงู[27](ุฃุฎุฑุฌู ุงูุฏุงูู
ู)
โSiapa
saja dua orang yang berjual beli, maka yang menjadi pegangan adalah perkataan
penjual atau saling mengembalikanโ(HR. Dailami)
Dari sini bisa dipahami
bahwa seolah-olah malik mengartikan hadist tersebut kepada umumnya dan ini
mengharuskan adanya jual beli pada majelis atau sesudahnya. Hadist ini muqothiโ
dan tidak bisa menentang hadist pertama. Apabila pertentangan tersebut hanya
berdasarkan perkiraan akan adanya keumuman pada hadist munqothiโ tersebut. Yang
lebih baik adalah jika hadist terakhir munqothiโ ini ditegaskan atas hadist
pertama. Sepengetahuan saya hadist terakhir ini tidak pernah diriwayatkan oleh
seseorang dengan musnad (yakni disandarkan kepada Nabi saw.). begitulah
pegangan Malik dalam meninggalkan Hadist tersebut.
Dalam menolak hadist
Khiyar ini, para pengikut Malik berpegangan pada lahiriah dalil-dalil samโiyat
dan qiyas. Dan diantara dalail lahir yang paling jelas dalam masalah ini ialah
firman Allah Surat Al-Maidah ayat petama.
ูุฃููููููุง ุงูููุฐูููู ุขู
ููููุง ุฃููููููุง
ุจูุงููุนููููุฏู ุฃูุญููููุชู ููููู
ู ุจููููู
ูุฉู ุงููุฃูููุนูุงู
ู ุฅููููุง ู
ูุง ููุชูููู
ุนูููููููู
ู ุบูููุฑู ู
ูุญููููู ุงูุตููููุฏู ููุฃูููุชูู
ู ุญูุฑูู
ู ุฅูููู ุงูููููู ููุญูููู
ู
ู
ูุง ููุฑููุฏู (1) [ุงูู
ุงุฆุฏุฉ
: 1]
3.
Kasus Akad Bisnis Onlene
Dalam hal ini bahwa ketika saya melihat
beberapa uraian di atas penulis menangapi kasus akad Bisni Onlene ini,sangatlah
perlu diketahui dulu bagaimana cara yang telah dilakukan dalam Akad ini. Kalau Akad ini tidak bertentanganan dengan Syaraโ maka
ya Boleh saja, yang penting sesuai dengan syaraโ dalam jual belia atau akad
tersebut.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tidak bertolak dari perumusan masalah dan
uraian di atas, maka dalam tulisan makalah ini dapat ditarik beberapa simpulan,
sebagai berikut :
1.
Prinsip
musyarakah sangat baik untuk dikembangakan dan juga diamalkan.
2.
Prinsip
musyarakah merupakah salah satu muamalah yang sesuai dengan
prinsip-prinsip islam.
B. SARAN
Menilik
pada simpulan seperti sijelaskan di atas, maka dalam
penelitian tesis ini disarankan, sebagai berikut:
1.
Prinsip
musyarakah merupakan pembiayaan terbaik dalam
bank syariah, adalah
sebagai medote pembiayaan
yang didasarkan pada keikutsertaan
bank bersama-sama dengan
nasabah untuk suatu proyek
tertentu dalam menghasilkan
laba atau rugi.
Oleh karena itu disarankan kepada
Bank Syariah pada
umumnya, kiranya pembiayaan
dengan prinsip musyarakah dapat
terus ditingkatkan penggunaanya
oleh masyarakat seperti pembiayaan-pembiayaan yang lainnya,
yaitu: qardh, murabahah, dan mudharabah.
2.
Perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat
atas keberadaan Bank Syariah umumnya
yang mengimplementasikan produk pembiayaan dengan prinsip musyarakah yang didukung
oleh sumber daya manusia (SDM) yang
profisional.
3.
Pengambilan
langkah-langkah sebagai
solusi dalam mengembangkan penggunaan produk
pembiayaan dengan prinsip
musyarakah, disarankan perlu terus
dilakukan, tetapi hendaknya
berdasarkan ketentuan
syariah.
ab Kholaf
.DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Agama RI. Al-Qurโan Dan
Terjemahnya. Gema Risalah Press Banduung Jakarta Barat
2.
![]() |
[1]Arifin Hamid. Membumikan
Ekonomi Islam di Indonesia. hlm: 66-67
[2]http://konsultasimuamalat.MI
Sigit Pramono.wordpress.com.20 Maret 2009
[3]ูShohih Al Bukhori, (Program Maktabah As Samilah Edisi
II) Jilid 3, hlm. 84, lihat juga dalam Kitab Bidayatul Mujtahid, Jilid 2 Hlm.
798
[4] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,
Cetakan Pertama Edisi III, 2001), hal 18
[5] Ghufron
A.Masโadi,Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cetakan
Pertama, 2002), hal 75
[6] Gemala
Dewi,Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,
(Jakarta : Kencana, Edisi pertama,Cetakan Pertama,2005) hal 45
[7] Departemen
Agama RI, Al qurโanul Karim wa tarjamah maaniyah ilal lughoh alIndonesiyyah,
(Al Madinah Al Munawwarah
: Mujammaโ al Malik Fahd li thibaโat al
Mushaf asy Syarif, 1418 H ) ,hlm 156
[8] Departemen
Agama RI, Al qurโanul Karim wa tarjamah maaniyah ilal lughoh
alIndonesiyyah,(Al Madinah Al Munawwarah : Mujammaโ al Malik Fahd li thibaโat al Mushaf asy
Syarif, 1418 H ) ,hlm.88.
[9] Fathurrahman
Djamil,HukumPerjanjian Syariah dalam Kompilasi HukumPerikatan oleh
Mariam Darus Badrulzaman,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, Cetakan Pertama,2001), hlm 75
[10] Fathurrahman
Djamil,HukumPerjanjian Syariah dalam Kompilasi HukumPerikatan oleh
Mariam Darus Badrulzaman,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, Cetakan Pertama,2001), hlm. 248
[11] Ahmad Azhar
Basyir, Asas-AsasHukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta : UII
Press, Edisi Revisi,
2000),hlm. 65
[12]Hasabu Tarqimul Fathul Al Barrii,
Shohih Bukhori. (Program Maktabah As-Samilah fersi II) Jilid 3 hlm. 259
[13] Chairuman
Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, HukumPerjanjian Dalam Islam,
(Jakarta:Sinar Grafika,Cetakan Ketiga, 2004), hal 2-3
[14] Abdoerraoef, Al
Qurโandan Ilmu Hukum : Comparative Study,(Jakarta: BulanBintang,1970),hlm. 122-123
[15] Purwahid
Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan(Hukum yang lahir dari Perjanjian dan
dari
Undang-Undang, (Bandung : Mandar Maju, Cetakan
Pertama, 1994), hlm. 2
[17]Ghufron A.Masโadi,Fiqh
Muamalah Kontekstual, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cetakan Pertama, 2002)
hal 76-77
[19] Abdul Aziz
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam,Jilid 5, ( Jakarta : Ichtiar Baru van
Hoeve,1996),hlm.
1510
[21] T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Fikih Muamalah, ( Jakarta : Bulan Bintang,
1974), hlm.
23
[22] Gemala Dewi,
Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Perasuransian Syariah di Indonesia,
(Jakarta :Prenada Media :2004), hlm 15.
[23]Gemala Dewi,
Widyaningsih, Yeni Salma Barlinti, ..................................................... , hlm 51
[24]
AdeArmando,dkk,Ensklopedi Islam untuk Pelajar, ( Jakarta :PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, tanpa tahun), hlm
77
[25]Gemala Dewi, .................................................................................
,hlm.17
[26]Oleh karena itu Ibu Umar r.a jika
punya keinginan memutuskan transaksi jual beli, setelah ijab dan qobul, ia
segera keluar majelis agar transaksi memenuhi syarat.
[27]Al Maudhoโ Riwayat Yahya Al Laisii,
(Program Maktabah As Samilah Versi II) Jilid 2, hlm. 671
Comments