Gejolak Pasca-Qadafi
Gejolak Pasca-Qadafi
Ditulis oleh Prof Dr Azyumardi Azra MA |
Kamis, 03 November 2011 11:26 |
Pasca-Qadafi; banyak pelajaran yang bisa
diambil khususnya bagi kaum Muslimin. Pertama-tama, cara tewasnya
penguasa Libya selama lebih 40 tahun ini sangat mengenaskan dan tidak
kurang ironisnya adalah ketika jenazahnya diletakkan begitu saja di
kamar pembeku daging, menjadi tontonan warganya. Banyak orang tidak suka
dengan kekejaman Qadafi. Tetapi, menyaksikan video sejak ia digiring
massa yang tidak terkendali yang kemudian menembak kepalanya tetap
membuat miris dan prihatin.
Peristiwa sekitar tewasnya Qadafi pada
20 Oktober 2011 lalu dan perlakuan yang tidak pantas terhadap jenazahnya
mencerminkan betapa 'budaya pembalasan' (culture of vengeance) begitu kuat. Budaya semacam ini seolah telah melekat (embedded) dalam lingkungan masyarakatnya. Prinsip lama yang telah ada sejak masa Biblikal, one tooth for one tooth, one eye for one eye-satu
gigi untuk satu gigi, satu mata untuk satu mata-di dalam masyarakat
Timur Tengah, kini terlihat begitu telanjang dalam peristiwa Qadafi.
Padahal, Islam mengajarkan agar siapa
pun tidak memperlakukan musuhnya secara sewenang-wenang. Islam juga
mengajarkan agar mereka yang bersalah diadili dengan seadil-adilnya; dan
bahkan ketika yang bersangkutan terbukti bersalah melakukan kejahatan
pembunuhan, Islam mengajarkan agar pihak-pihak yang terlibat kekerasan
dapat memberikan pemaafan. Prinsip dan ajaran yang sangat mulia karena
dengan cara begitu mata rantai kekerasan, keaniayaan, dan kezaliman
dapat lebih mungkin diakhiri.
Tewasnya Qadafi jelas belum mengakhiri
cerita pergantian dan konsolidasi kekuasaan di Libya sendiri. Bahkan,
tewasnya Qadafi merupakan awal dari transisi kekuasaan yang sangat boleh
jadi berlangsung dengan penuh pergumulan dan kesulitan. Sebaliknya,
pihak asing, khususnya NATO, mulai mengklaim imbalan penguasaan minyak
dan gas Libya sebagai imbalan atas bantuan mereka dalam penumbangan
rezim Qadafi.
Tewasnya Qadafi juga tidak menghentikan
kekerasan di Dunia Arab atau Timur Tengah secara keseluruhan. Tampaknya,
rezim-rezim yang sekarang tengah menghadapi tantangan rakyatnya-yakni
Presiden Bashar Assad di Suriah dan Presiden Ali Abdullah Saleh di
Yaman-belum terbuka hatinya masing-masing untuk mengakhiri kekerasan
yang masih terus mereka lakukan kepada rakyatnya. Sebaliknya, jumlah
korban yang tewas terus bertambah dari hari ke hari, pekan ke pekan,
belum terlihat bahwa rezim-rezim ini mengusahakan cara damai untuk
menghentikan gejolak perlawanan rakyatnya masing-masing.
Padahal, pengalaman Qadafi sejak awal
sampai ia tewas memberikan pelajaran, kekerasan yang menewaskan banyak
rakyat selalu menjadi alasan bagi pihak asing, seperti NATO dan juga
Amerika Serikat, untuk campur tangan. Tanpa bantuan militer,
persenjataan, intelijen, dan logistik NATO sulit dibayangkan pasukan
perlawanan sipil Libya di bawah Dewan Transisi Nasional dapat
mengalahkan pasukan Qadafi-termasuk 'tentara sewaan' yang dia datangkan
dari berbagai negara.
Karena itu, sangat penting bagi para
penguasa di mana pun untuk membenahi rumah tangganya. Selain menjalankan
pemerintahan sesuai dengan konvensi internasional dan prinsip HAM, para
penguasa sepatutnya menyelesaikan pertikaian dengan warganya
masing-masing secara damai. Penggunaan kekerasan-apalagi dalam skala
besar-merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengundang berbagai
pihak internasional untuk menggunakan berbagai cara untuk menumbangkan
rezim-rezim semacam itu.
Tidak ragu lagi, dorongan untuk campur
tangan pihak asing itu kian bertambah jika negara bersangkutan kaya
dengan sumber alam, khususnya minyak bumi dan gas, seperti yang dimiliki
Libya. Atau, jika negara tersebut memiliki posisi geo-strategis, yang
secara politik sangat penting untuk penguasaan dan pengendalian kawasan
semacam Timur Tengah. Suriah dan Yaman termasuk negara-negara yang
memiliki posisi geo-strategis dalam konteks kepentingan AS dan
negara-negara Barat lain, khususnya dalam kaitan dengan konflik dan
kekerasan yang masih berlanjut pula di antara Palestina dan Israel.
Karena itu, bukan tidak mungkin negara-negara Barat melakukan berbagai
cara pula untuk menumbangkan pemimpin masing-masing negara ini.
Inilah pelajaran penting bagi kita di
Indonesia. Di tengah masih berlanjutnya ketidakpuasan terhadap
Pemerintahan Presiden SBY, semestinya ketidakpuasan itu tetap dilakukan
secara damai-jauh dari kekerasan dan anarki. Kekerasan dapat berujung
pada lingkaran kekerasan yang sulit diakhiri. Pada saat yang sama
Pemerintah dapat lebih arif dan berupaya sungguh-sungguh memperbaiki
keadaan. Hanya dengan cara itu Indonesia dapat terpelihara dari campur
tangan asing-yang niscaya berujung pada tragedi yang pahit.
Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tulisan dimuat pada Harian Republika, Kamis (3/11)
Comments